Aku bertanya pada hatiku. Mungkinkah ia mau berbagi untuk memiliki
dua cinta? kurasa jawabannya adalah tidak. Hati tidak akan pernah
terbagi.
Selalu mengerti untuk siapa ia dimiliki. Hati tidak akan pernah
berbohong demi sebuah ambisi. Karena hati itu suci, bersih. Namun akan
terkontaminasi dengan warna duniawi.
Tulisan ini sengaja aku buat untuk siapapun yang merasa memiliki dua
cinta dalam hatinya. Akan tetapi tidak pernah sadar dan terus
membohongi diri menafikan hakikat cinta sejati.
Cinta sejati bermuara pada kesucian diri dan bersumber dari rahmat
ilahi. Dalam keberjalanannya, tidak jarang orang-orang yang mengaku
mencintai TuhanNya dengan gagah dan sengaja mencoba untuk mendua.
Membagi hati untuk dua cinta. Tidak jarang kalimat “aku mencintaimu
karena Allah” terdengar bebas. Diumbar dengan penuh kebanggan. Mengalir
deras dengan hati penuh “keikhlasan”.
Hal ini diperkuat dengan mencoba menjaga diri dari banyaknya
interaksi. Tapi hati tidak bisa dipungkiri. Sekuat apapun diri menjaga
rambu-rambu yang dibatasi oleh pemahaman, oleh pembinaan tetap saja
sesaat barang sesaat hati akan berkarat.
Tidak menjadi masalah ketika kalimat yang biasa divisualisasikan
dengan rona-rona merah muda diucapkan oleh dua insan yang telah sah
terikat secara agama maupun hukum yang ada.
Atau ungkapan cinta itu didasarkan atas landasan persaudaraan yang
menguatkan. Keadaan menjadi di luar kendali ketika kalimat tersebut
mengalir deras bukan dari kedua kasus di atas. Justru sebuah anomali
yang kemudian secara serentak diamini.
Tidak jarang aku mendengar kisah cinta dengan bumbu-bumbu syari atau
disyari-syarikan. Sungguh menjadi sebuah ironi ketika ucapan hanya
sebatas ungkapan lisan. Berkoar-koar dengan semangat yang berkobar
menyeru kepada yang hak dan mencegah pada yang batil.
Tapi terkadang justru lupa untuk melihat aib diri yang mengotori
hati. SMS mesra dilakukan begitu saja, tausiyah berkala tak akan pernah
lupa, pun halnya dengan Tahajud Call yang senantiasa menjadi agenda.
Fenomena virus merah muda menyebar dengan cepatnya bak jamur di
musim hujan. Sebuah rekayasa terkadang diadakan oleh para pelakunya.
Pembenaran dilakukan untuk mendapatkan dukungan. Kalimat-kalimat
seperti ini sering kali terdengar, dalam rangka mengenal lebih jauh
calon saya.
Biar ana memahami ia lebih dekat, dan berbagai aktifitas klise
lainnya senantiasa memudarkan warna keagungan cinta. Padahal pantas
disadari tindakan seperti itu tidak pernah dibenarkan.
Sekali lagi saya garis bawahi bahwa realita itu terjadi dan
dilakukan oleh seorang yang notabene tahu dan terbina secara baik
bagaimana seharusnya cinta itu diposisikan.
Aku sadar dan paham bahwa masa muda adalah masa ketika gelombang
perasaan untuk mencintai, dicintai, menyayangi dan disayangi hadir dan
sulit dibendung.
Kehadirannya yang tidak halal mengikis secara perlahan namun pasti
karang hijab yang melindungi hati. Itulah mengapa terkadang setiap
nasihat yang disampaikan, tindakan yang menjadi teladan terkadang
kehilangan jiwanya. Terkotori oleh atmosfer cinta palsu.
Tidak usah mencoba menutup mata atau telinga. Ini realita dan
benar-benar terjadi. Sangat sulit tampaknya menemukan pribadi yang
benar-benar menjaga hijabnya. Yang menjaga kesucian diri hingga saat
itu tiba. Saat pernikahan yang sah dan tidak ada lagi batasan yang
“menyiksa”.
Guru ngajiku pernah memberikan sebuah nasihat yang sangat bijak.
Beliau mengatakan bahwa tidak mungkin ada dua cinta dalam satu hati.
Pasti akan terjadi kontradiksi. Cinta yang hakiki hanyalah cinta kepada
Allah dan cinta yang menjadikan Allah sebagai tujuan dan landasan untuk
menjalani cinta tersebut.
Sementara virus yang menjangkiti perlu dikaji dan ditanyakan kembali
pada hati. Apakah itu cinta, atau nafsu semata? Hati kecil tidak akan
pernah bisa dibohongi. Ia akan menjawab dengan sejujur-jujurnya.
Marilah kita semua bertafakur diri. Mengukur diri dengan lebih
teliti. Saat kita bercanda mesra melalui sms dengan si dia pujaan hati,
pernahkah terlintas dalam benak kita untuk bercanda berpahala dengan
saudara satu asrama.
Ketika sepertiga malam kita terbangun kepada siapa dering telepon
itu tertuju. Untuk si dia yang tadi pagi mengenakan jilbab merah muda,
atau saudara ngaji kita yang selalu berjuang bersama. Terkadang kita
tidak adil dalam menempatkan cinta.
Mulai sekarang saudaraku mari kita mengingat bersama. Ikatan ikhwan
dan akhawat bukan mahram sah sesuai syariat hanya dan hanya jika
didasarkan atas mahligai pernikahan yang indah.
Bukan pacaran syar'i atau hubungan tanpa status. Pun halnya dengan mereka dalam tahap mengkhitbah. Masa depan adalah ghaib.
Hanya Allah yang mengetahui rahasianya. Tidak ada jaminan wanita
yang telah dikhitbah akan pasti menjadi pendamping hidup kita. Oleh
karena itu jangan kotori hatinya dan hati kita. Karena hanya ada satu
cinta dalam hati kita.
Pastikan Dia yang selalu mengisi hati ini dengan keindahan, kelembutan, dan kasih sayang yang sejati yang murni.