Assalamu'alikum Wr.Wb
Apa
sesungguhnya yang paling bernilai dalam kehidupan ini? Capaian
tertinggi apa yang diimpikan setiap orang sebagai refleksitas dari
sebuah keberhasilan puncak dalam kehidupannya? Jawabnya akan sangat
tergantung kepada siapa yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Namun satu hal yang pasti, faktor inilah yang telah membuat sebuah
pemahaman terhadap makna kebahagiaan sejati bisa menjadi serba multi
tafsir dan multi dimensional.
Melalui kolom-kolom berikut ini, bagi
mereka yang berkenan, saya mencoba menawarkan berbagai bahan pemikiran
untuk ditelaah, direnungkan sekaligus juga disimulasikan kepada upaya
pencapaian kualitas kehidupan yang lebih baik, dalam persfektif kerangka
pemahaman universal maupun spiritual.
Apa yang saya utarakan
sesungguhnya hanya sebatas garis bawah dari apa yang telah Anda ketahui.
Karena itu, ia bisa terkesan sudah sangat biasa dan klasik. Tetapi
justru kealpaan banyak kita dalam mencerna banyak permasalahan dalam
kehidupan ini, penyebab hilangnya kehidupan yang berkearifan banyak di
antara kita, justru antara lain akibat melupakan apa yang dimaksudkan
sebagai garis bawah ini.
Kolom-kolom ini sendiri ditulis pada saat
apa yang dijadikan topiknya sedang hangat dalam pemberitaan media massa
dan tidak pernah diedit kembali.
Semoga Bermanfaat. Wassalamu'alaikum Wr.Wb
Mari Menjadi Failusuf
FAILUSUF adalah penggemar monologi dengan jalan pikiran yang aneh.
Mereka yang terus mabuk memamah dan memuntahkan kata-kata sulit, sambil
melambungkan pikiran ke langit tinggi fatamorgana substansi dunia. Dan
mereka yang tertarik, harus rela menjadi martir di lautan kata-kata, cuma untuk menyederhanakan jalan pikiran mereka.
Tetapi
mengapa seorang failusuf harus mencari kalimat yang demikian rumitnya
sekadar untuk mengungkapkan tentang makna kausalitas atau kebenaran?
Harus rela memutar kepala, demi keutamaan abstraksi yang berenang di
samudera istilah yang demikian ambiguitas, karena dibuat sangat kaya dengan rona dan makna?
Mengapa
ketika para ilmuwan memecah-belah keseluruhan bagian, para failusuf
justru mengintegrasikannya menjadi keseluruhan? Mengapa ketika para
fisiolog mendalami organ-oran tubuh manusia, seorang failusuf lebih
mabuk untuk mempelajari manusia itu sendiri? Dan di saat para biolog
gemar mengurai satu persatu kehidupan organisme, mengapa pula para
failusuf justru berusaha menemukan hakikat kehidupan?
Ada
sebuah kalimat pendek untuk menyederhanakan jawaban dari rangkaian
pertanyaan sulit di atas ini. Karena para failusuf mencari hakikat
kehidupan yang terbijak, melalui inti dari spektrum gemerlapnya cahaya
pemikiran.
Kita –oleh faktor ini--- bisa jadi akan berada di posisi
yang demikian berjarak, baik secara logika, intuisi, teologis dan
metafisis dengan mereka. Kita yang awam, mencari kebenaran dan kebijakan
kehidupan, cukup lewat jalan pintas di jembatan akal budi dan keyakinan
agama. Sedang seorang failusuf melintas di titian kecemerlangan
kekayaan pemikiran mereka. Pada saat kita berjuang sebatas mengejar
keunggulan, mereka justru mencari kesempurnaan.
Namun siapapun dia,
seorang failusuf, pertapa, sufi atau manusia-manusia sederhana semacam
kita, pada intinya ingin kehidupan yang berkualitas. Yang membedakan
tinggal lagi persepsi masing-masing kita tentang kualitas yang
dimaksudkan itu. Dan saya percaya, kualitas hidup seseorang ---seperti
juga takdir---, sangat ditentukan oleh wataknya.
Saya tidak percaya
Anda bisa dengan tulus menghargai seorang pejabat tinggi atau orang
kaya, yang Anda tahu berwatak kurang baik. Tapi saya percaya Anda bisa
dengan jujur menghargai seseorang biasa yang berwatak baik. Seperti juga
saya percaya Tuhan lebih mencintai hamba-Nya yang berwatak baik,
ketimbang seorang ulama yang berwatak buruk.
Kemashuran, kata pakar
kepribadian Jackson Brown Jr, hanya lewat sesaat. Uang juga punya sayap.
Sementara popularitas cuma kebetulan. Satu-satunya milik Anda yang
tetap bertahan, adalah watak. Logikanya, sangat tidak bijak, jika
seseorang lebih memilih untuk memuliakan kemashuran, harta dan
popularitasnya, ketimbang wataknya.
“Manusia tidak perlu merasa
hancur pada saat kehilangan harta, tetapi dia harus merasa bangkrut,
malu dan binasa saat kehilangan watak baiknya,” kata al Hujwiri, penulis
Kasyf al-Mahjub, buku tentang uraian spiritual para sufi yang
terkenal. Kualitas hidup Anda ditentukan oleh watak Anda, tambah lain
James Champy lewat buku Manajemen Rekayasa Ulang.
Puluhan
buku yang ditulis para pakar pembangunan pribadi seperti Dale Carnegie,
Zig Ziglar, Robyn Spizman, Charles Nobel, Peter Lauster, Julius Fast dan
sejumlah nama tenar lainnya, intinya hanya mengajarkan kepada satu
tujuan. Bagaimana memperoleh keunggulan dalam kehidupan. Bukan
kesempurnaan. Dan keunggulan kehidupan hanya mampu tegak di altar watak
yang baik.
UNTUK memahami kebijaksanaan hidup,
pelajarilah filsafat, saran Thoreau. Atau lebih tegasnya, mari menjadi
failusuf untuk bisa hidup dengan lebih bijak. Perlukah?
Mungkin
tidak. Tak perlu menjadi failosof untuk bisa hidup lebih bijak. Karena
kita cukup membangun keunggulan kehidupan melalui watak yang baik. Bukan
terbang tinggi di awang-awang pemikiran untuk memburu sesuatu yang
bernama kesempurnaan.
Kita perlu harga diri, bukan kemegahan. Kita
sebatas butuh rasa hormat, bukan semata pangkat dan kedudukan. Kita suka
kesederhanaan yang tulus, bukan senyum hangat yang kemudian mencibir di
belakang.
Kita bukan orang yang
mau dan mampu untuk terus berenang di gelombang tinggi lautan pemikiran.
Merenda hidup dengan terus menggosok batu akal budi untuk mencptakan
keniscayaan yang bernama intan kesempurnaan. Kita bukan Si Pengangkat Dagu
yang melihat tumpukan harta dan gemerlap pangkat sebagai ukuran sukses
kehidupan dunia. Kita bukan Tikus busuk yang rela mengorek lubang
kotoran, menyelinap di antara sampah menjijikan, karena ambisi ingin
memanjat di ketinggian.
Kita (harusnya) tetap saja menjadi manusia
biasa. Seseorang yang berkata jika kebahagiaan sejati bisa dijangkau
cukup dengan watak baik dan keyakinan kepada kebenaran semua hukum
Tuhan, mengapa pula harus mau bersusah-payah mejadi martir di samudera
tipu-daya dan angan-angan?***
Jubah
KETIKA kehormatan
bersumber dari atribut, maka distansi antara kemuliaaan dengan
kehinaan, hanya terpisahkan oleh selapis tabir yang teramat tipis.
Kehormatan diri, hanya berjarak selangkah dengan kenistaan.
Abi
Ishak melepaskan rangkaian bersin yang keras itu dengan tubuh
tergoncang. Lalu tanpa sadar kemudian, jubah jabatan baru yang melekat
indah di tubuhnya dijadikan pengusap kotoran yang melekat di hidung dan
mulutnya.
Sekejap ruang megah yang menjadi tempat acara pelantikan dua pejabat penting di Surraman
Mediterian itu berubah sepi. Ratusan pasang mata memandang tegang
kepada Abi Ishak yang tegak berdiri di samping Abu Bakar Dalap al-Sybli,
pejabat lain yang dilantik bersamanya hari itu. Mereka menanti apa yang
akan dilakukan Khalifah yang sedang menatap Abi Ishak dengan geram.
Mengapa
jubah jabatan yang megah itu harus diperlakukan sehina tisu di tempat
pembuangan? Bukankah seseorang yang sekerdil apapun, segera terangkat
naik, saat menyandang seperangkat pakaian kebesaran? Kebodohan apa yang
menggerakan seseorang untuk mendustakan pengaruh sepotong jubah yang
sarat dengan kilau kemegahan? “Tanggalkan pakaian itu, dan keluarlah
dari Istana ini,” perintah Sang Khalifah kemudian.
Peristiwa di Khurrasan
Irak tahun 891 itu, menjadi titik awal dari perubahan drastis jalan
hidup salah seorang pejabat tinggi pemerintah yang kemudian menjadi sufi
besar dari Surraman. Dan tokoh itu bukan Abi Ishak Sang Pejabat yang dipecat, tetapi rekannya yang juga ikut naik pangkat, Abu Bakar Dalap Ibnu Hajar al-Sybli.
“Aku tak ingin memindahkan kehormatan diriku kepada hanya sepotong jubah jabatan,” kata Si Pendahaga Ilmu Tauhid ini, setelah mundur dari pemerintahan, dan mulai memasuki dunia tasawuf, dengan bergabung ke kelompok spiritual pimpinan Khair as-Nassaj di Bagdad.
PROCEDERE Processi Prosessum.
Filsuf Augustinus menegaskan makna keharusan iman mendahului pemahaman.
Fakta bahwa akal bersujud di kaki iman, yang menekankan kelebihrendahan
rasio dibandingkan wahyu. “Credo ut intelligam,” kata lain
Aselmus lewat diktum argumen ontologismenya yang terkenal. Saya percaya,
agar saya bisa mengerti. Dalam perspektif pemikiran yang lebih utuh, Al
Ghazali juga banyak mencontohkan kemahabenaran wahyu melewati variabel
rasio secara saintifik dan empiristik.
“Tuhan
mengukur kemuliaan dan kehormatan manusia dari ketakwaan kepada-Nya.
Dan sifat takwa itu sendiri mencerminkan wujud kecemerlangan akal budi
manusia, tidak hanya sebatas dalam makna hubungan secara vertikal dengan
Sang Maha Segala, tetapi juga dalam konteks sesama insan dan
seluruh alam semesta,” kata al-Sybli. Dia ingin menegaskan bahwa ketika
Tuhan menyatakan keimanan kepada-Nya sebagai ukuran kesejatian harkat
kehormatan dan kemuliaan seseorang, maka setiap manusia harus
mempercayainya terlebih dahulu, sebelum kemudian memahaminya secara
rasio maupun empirik. Lalu, bagaimana mungkin dia bisa menerima
pemikiran bahwa kehormatan dan kemuliaan seseorang justru hanya
bergantung kepada selembar jubah jabatan? Yang pada saat Sang Jubah kotor atau hilang, maka Si Empunya harus terpuruk dalam kehinaan? Bukankah itu menantang kehendak Tuhan?
Tapi
sangat banyak mereka yang percaya, bahwa kehormatan seseorang memang
lebih terletak di atribut yang menutup tubuhnya, ketimbang di dalam
tubuh yang ditutup atribut kemegahannya. Karena itu, saat kehilangan
jabatan, seseorang bisa langsung dipandang telah kehilangan kemilau
kemuliaan dan harga dirinya.
Abu Bakar Dalap Ibnu Jahar al-Sybli ingin mengajarkan kepada Sang Khalifah,
bahwa derajat seseorang tidak diukur dari apa yang disandangnya. Itu
sekaligus juga peringatan agar jangan sampai membuat jabatan sebagai
sumber yang akan mengotori diri sendiri. Sebab jabatan bukan Si Penjaga dan Si Pemelihara diri, tetapi justru sebaliknya.
Selain
itu banyak pejabat tinggi yang menyatakan siap untuk hidup tanpa
jabatan. Yakin tak akan tergoncang jika kelak kehilangan apa yang
sekarang dia pegang. Namun ketika saat itu tiba, toh dia tetap kecewa,
gamang dan merasa telah sangat ditinggalkan. “Mengapa?,” tanya suatu
ketika Al-Harist al-Muhasibi kepada salah seorang muridnya. Sang Sufi
menjawab sendiri pertanyaannya, “karena orang yang mudah kecewa,
termasuk golongan fakir yang papa, meskipun punya banyak harta”.
Tapi intinya mungkin, karena Sang Pejabat
telah berdusta, saat mengatakan bahwa kehormatan dan kemuliaan
seseorang tidak terletak di jubah jabatan yang sedang dia kenakan. Dia
sesungguhnya masih tetap percaya, bahwa nilai diri seseorang ditentukan
oleh pangkat, harta dan kedudukan. Karena itu, agar diri bisa lebih
tampil di permukaan, maka pemburuan terhadap harta dan jabatan, menjadi
kisah yang seolah tak pernah berpenghabisan. Orang-orang yang seperti
ini menurut Napoleon Bonaparte, tanpa sadar telah meletakan kemuliaan
dirinya, hanya berjarak selangkah dengan kenistaannya.***
Darah Haram
KETIKA filsafat dipandang
sebagai atmosfir bagi substansi energi untuk mencapai kualitas
kebijaksanaan tertinggi dalam kehidupan, seseorang sesungguhnya sedang
merentas jalur menuju ke jalan Tuhan yg sejati. Dia sedang berpindah
dari alam materi ke alam hikmah. Alam kearifan, di mana Tuhan menjadi
tujuan akhir, sekaligus juga sebuah awal.
Tak ada catatan sejarah atau efigraf
yang jelas membicarakan, mengapa Ibrahim al Husyri di tahun 954 secara
halus, menolak jabatan sebagai Hakim Agung di Baghdad. Rela dihukum oleh
Raja yang terhina karena penolakannya. Tetapi ketika dia menyebut bahwa
jangan memilih bermukim di matahari andai engkau tak ingin terbakar,
filsuf yang juga Guru Besar satu mazhab dengan sufi masyhur Dalf Asy Syibli tersebut, menyiratkan pandangan sederhananya terhadap bahaya kemegahan dunia.
Husyri lebih memilih bernafas di alam hikmah, ketimbang alam materi. Dalam konsep kogensi emanasi Plotinus, dunia materi memang berada di hierarki terendah dari Akal Pertama, alam spiritual atau Tuhan. Seperti konsep filsafat Ibnu Arabi, yang menganggap mineral sebagai wadah tajalli (penampakan) terendah, dibandingkan Insan Kamil. Manusia Suci, haqiqat al haqa’iq, Nur Muhammad, yang mampu menampilkan citra dan sifat-sifat Tuhan di dunia.
Pilihan
untuk selalu berusaha menghindari sumber kehilafan dan dosa-dosa,
memang menjadi pilihan mereka yang meletakan dunia pada hierarki
terendah. Alternatif ini memang bisa menjadi sebuah debat yang panjang
manakala konsep Adi Kodrati tentang manusia sebagai Khalifah, mahluk pembawa amanah di muka bumi dari faham neo sufisme, dijadikan sandaran argumentasinya.
Bukankah
seseorang mustahil memperbaiki lubang sebuah sumur tanpa turun ke dalam
bahkan ke dasar sumurnya? Padi tak akan tumbuh baik tanpa kemauan untuk
mencebur ke sawah, bergelimang dengan lumpur, memilah antara rumput dan
tanaman yang harus dicabut. Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang
Rasul, Pemimpin Agama, Pemimpin Umat, Panglima Perang, Pemimpin
Pemerintahan, sekaligus juga seorang pengusaha.
Filsafat,
seperti juga wujud pemikiran spiritualistik dan metafisis lainnya,
dengan demikian, harusnya bukanlah sebuah kajian yang selalu identik
sebatas akan membawa manusia ke balik tembok-tembok sepi, gua-gua yang
terasing atau menara gading. Mungkin benar pada pendalaman kognisinya, tetapi tidak pada aplikasinya.
Karena manusia yang lahir awalnya sebagai mahluk yang bersih dan suci,
menyandang kodrat untuk tidak hanya sekedar harus mempertahankan
kesuciannya, sekaligus juga menebarkannya.
Tetapi
apakah karena konsep pemikiran ini, pilihan Ibrahim al Husyri Sang
Mujtahid yang secara total menolak tanggungjawab perbaikan manusia,
karena ketakutan untuk berada di sumber kehilafan dan dosa-dosa menjadi
sebuah pilihan yang salah? Seperti diutarakan tadi, ia akan bisa menjadi
sebuah debat panjang yang sulit berkesudahan. Karena itu akan
menawarkan banyak ruang makna dan pemikiran untuk disabung dan saling
diargumentasikan.
Manusia
akhirnya harus kembali ke pada dirinya sendiri, kepada kualitas
kearifannya dalam menghadapi semua amanah tanggungjawab kodrati
dunianya. Dalam konstelasi ini, urgensi pemahaman spiritual dan
filosofis memang menjadi penting. Dengarlah apa yang dikatakan Al
Husyri, ---seperti juga konsep filsafat para filsuf besar Muslim, Al
Kindi, Ibnu Sina, atau Ibnu Tufayl--- yang mendasari ucapannya dari buah
pencapaian kualitas keagamaan melalui proses penciptaan kualitas
kebijaksanaan atau kearifan melalui filsafat.
“Tahukah
engkau, jika memakan harta yang bukan hakmu, memakan barang-barang yang
dilarang oleh ajaran agamamu, maka ia akan menjadi darah haram yang
akan terus hidup, mengalir dan bergolak di sekujur tubuhmu? Bagaimana
mungkin pemikiran-pemikiran yang baik, hal-hal yang suci, seperti
keihlasan ketaqwaan kepada Tuhan akan bersedia hadir di tubuh dan
pakaian yang haram? Tahukah engkau, bahwa keserakahan, kesombongan dan
berbagai sifat buruk akan cepat bersarang di tubuh yang dibangun dengan
barang-barang kotor dan terlarang? Bagaimana mungkin keluargaku,
turunanku akan menjadi baik karena mereka sebenarnya telah hidup dan
dibesarkan oleh harta yang bukan milik orang tuanya? Bagaimana mungkin
aku bisa tentram beristirahat di alam baqa, jika telah mewariskan harta yang penuh bergelimang dengan lendir dan dosa-dosa?”.
Begitu
banyak manusia yang mengeluh karena demikian sulitnya mengecap air
kehidupan yang bersih, tanpa dia sendiri pernah mau membersihkan gelas
kehidupannya yang kotor. Padahal hukum akal yang sederhana mengingatkan,
bahwa gelas yang bernoda, selalu membuat isinya juga ikut ternoda.
KETIKA filsafat dipandang
sebagai atmosfir bagi substansi energi untuk mencapai kualitas
kebijaksanaan tertinggi dalam kehidupan, seseorang sesungguhnya sedang
merentas jalur menuju ke jalan Tuhan yg sejati. Dia sedang berpindah
dari alam materi ke alam hikmah. Alam kearifan, di mana Tuhan menjadi
tujuan akhir, sekaligus juga sebuah awal.
Ini
mungkin pemikiran yang kelewat jauh dan muluk. Wilayah orang-orang
tertentu. Yang lebih kita butuhkan bukan samudera kata-kata dan jalan
berliku menuju kepada kesempurnaan. Tetapi bagaimana berusaha dengan
segala kesungguhan untuk mulai membersihkan secara bertahap, kegelapan
dan kekotoran di gelas kehidupan masing-masing. Agar air jernih yang
membawa cahaya, tidak lagi menjadi kotor tatkala dituang ke dalamnya**
Penakluk Sejati
ORPHEUS gemetar
di atas ke dua kakinya. Kilap mata pedang besar di tangannya, beradu
dengan kilau butir keringat di leher Akserullius yang sudah tak berdaya.
Panglima perang dari dinasti Parnellope yang terluka
ini, sekarang terkapar di tanah. Tenggelam dalam ketakutan dahsyat
menanti kematian. Menara tinggi arogansi keperkasaannya telah tumbang.
Terburai ke wujud kepingan-kepingan kecil yang bernama kehancuran dan
kenistaan.
Apakah Sang Penakluk
dalam adaptasi sebuah Opera mithologi Yunani kuno itu kemudian akan
tetap mengayunkan pedang besar di tangannya? Sebagai sebuah garis bawah
tebal dari proklamasi kemenangan sekaligus kebesaran dirinya? Akhirnya
tidak. Orpheus menurunkan mata pedang itu dari leher Panglima
Akserullius. Mencoba meredam api kemarahan yang berkobar di dada.
Mencoba untuk tetap percaya, bahwa Penakluk Sejati adalah mereka yang mampu membuat Sang Lawan dikalahkan tanpa harus merasa kehilangan seluruh harapan terhadap kehormatan.
“Kita
harus belajar untuk selalu memberikan teladan yang benar,” kata Ronald
Reagan ketika masih menjadi presiden AS tentang kasus penembakan tak
sengaja sebuah pesawat penerbangan sipil Iran oleh Kapal Penjelajah AS Vincennes, 3 Juli 1988 silam.
Para
wartawan Amerika saat itu gusar dengan sikap ‘lembek’ Sang Presiden.
Reagan dianggap menutup mata terhadap tindakan kejam yang telah dialami
para sandera AS yang sebelumnya sempat ditahan di Iran.
Di mata mereka, insiden yang menewaskan 290 penumpang hari itu sebagai
pembalasan setimpal. Tak perlu lagi ada konpensasi kerugian kepada
keluarga korban. Namun dengan arief, Reagan mengatakan “Saya tidak
pernah menilai belas kasihan sebagai sebuah teladan yang buruk”.
Motivator
Zig Ziglar menyeret kasus yang sama, dengan mengutip filsuf Emerson.
“Mustahil seseorang mampu merampok atau melukai orang lain, tanpa dalam
saat yang sama, merampok dan melukai dirinya sendiri lebih dari
siapapun”.
Sekitar
700 tahun silam, dalam sebuah wejangan sufistik, Abu Na’im al-Asbahani
menyebut umat manusia dalam perspektif ilmu tentang Tuhan, sebagai
identik kilau lintas meteor di tata surya. Manusia sebatas fenomena
alam, tetapi bukan alam itu sendiri. Mungkin seperti noktah yang
berdepan dengan misteri kebesaran seluruh jagad yang maha luas ini.
Asbahani, penulis Hilyat al-Auliya,
10 jilid buku eksiklopedia mengenai 800 sufi di abad ke sembilan dan
sepuluh itu, agaknya kembali mengingatkan, tentang kedhoifan pemahaman
manusia terhadap perbedaan antara pakaian Tuhan dengan pakaian
diri sendiri. Itu lahan subur bagi bibit kesombangan dan nafsu ingin
menguasai yang tak mudah terkendali. Yang mematikan resistensi penala
kepekaan batin di altar nurani. Yang menghentikan sebuah gerak temali
mekanis dimana rasa iba, kemauan untuk menghargai dan egaliterianisme
biasanya diproduksi.
Jiwa
yang kotor –secara mengerikan--- kata Asbahani, akan membuat kita mampu
merasa puas saat menyaksikan penderitaan orang lain. Jiwa yang kotor mengaleanasi diri
dari instink kebahagiaan dalam menolong penderitaan sesama. Seperti
sebuah software yang salah, kita terprogram untuk lebih gampang
merugikan orang lain, di saat melihat sebuah celah keuntungan untuk diri
sendiri. Kita nyaris Harimau lapar yang selalu mengintai dari balik rimbun pohon kegelapan.
ORPHEUS
bisa saja dengan mudah mengayunkan pedang besarnya. Untuk
menyempurnakan kepuasan emosi terhadap kemenangan di depan mata. Tetapi
dia tak ingin mengotori sebuah kemenangan sejati, hanya untuk membangun
kepongahan yang sekedar sebentuk kemasan namun mampu membusukan isi.
Orpheus,
legenda di sebuah mithologi itu, memang terlalu sulit untuk diteladani.
Kemampuannya dalam memisahkan kebencian dari sebuah peluang untuk
melampiaskan kobar kemarahan, sungguh menuntut kebesaran hati. Prilaku yang juga pernah ditunjukan Muhammad SAW. Dia mampu dengan
mudah, mema’afkan derita penistaan dan penyiksaan puluhan tahun yang
telah dilakukan komunitas Quraisy penentang Islam di Mekkah terhadap
dirinya dan pengikutnya sekitar 14 abad silam.
Tetapi
andai sikap balas melukai saja bahkan harus dihindarkan oleh mereka
yang sebenarnya telah dilukai, mengapa justru banyak mereka yang tak
merasa dilukai, tega untuk melukai?
“Sebenarnya mustahil seseorang
yang baik, mampu merampok atau melukai orang lain, tanpa dalam saat
yang sama, juga telah merasa merampok dan melukai nuraninya sendiri
secara kejam”.
Apakah orang baik yang dimaksudkan kalimat itu termasuk kita-kita ini?***
Dialog Dengan Musuh
WATAK dan keyakinan, dibangun secara bertahap oleh rangkaian bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan………
Debu bergerak resah di sepanjang jalan kecil dekat St David Street. Koridor lurus dari sebuah kawasan baru di Edinburgh
lebih 200 tahun silam. Serpihan sisa-sisa cahaya sore, merayap murung,
di antara celah rerumputan yang meranggas kering. Udara mencekik gerah.
Tapi tak membuat David Hume yang berada di penghujung kematiannya
kehilangan semangat untuk mendiskusikan tentang Tuhan dan pen-zat-an mental yang tak pernah dipercayainya.
Satu dari tiga filosof empirisis besar di samping Locke dan Berkeley
ini, dengan gigih menyanggah argumentasi pemikir ulung James Bosswell
yang hari itu khusus datang, hanya untuk mencoba menafikan keyakinan
“sesatnya”. Tapi Boswell akhirnya cuma terpana gagu, saat Hume
melontarkan pertanyaan sangat kritis: “Jika jiwa dianggap sebagai zat mental, dari kesan apa gagasan tentang jiwa diperoleh?”.
Hume
sudah bagai karang terjal yang mustahil goyah diterjang gelombang.
Pencarian butir-butir bibit dari serabut akar sumber kekayaan ilmunya
sejak remaja, menjulangkan menara keyakinannya yang menembus batas
lapisan langit subtansi pemikiran spiritual manusia biasa. Hume mabuk
tenggelam di bejana taman surgawi keyakinanya. Di mata awam sebagian
kita, Filsuf Scottish ini, bisa saja dinilai terlalu gemar memperkasakan Sang Musuh di dalam dirinya. Membiarkan kekuatan itu menelikung dan berdamai dengan seluruh kehendaknya.
SETIAP orang
pada dasarnya, memiliki seorang musuh abadi di dalam diri sendiri.
Perwujudan dari nafsu atau kehendak bebas yang menjadi kembaran
sekaligus bayangan yang tak pernah lepas dari hidupnya. Di mata mereka
yang arif, yang gemar berenang di samudera madu kekayaan hikmah
kebajikan dan kebijakan luas dari dalamnya lautan pemikiran, Sang Musuh selalu tampak jelas dalam setiap dia ingin memilah dan memilih sebuah jalan yang memisahkan antara kebajikan dan keburukan. Sang Musuh yang kaya dengan bujukan dan godaan, sering tampil dengan kilap meyakinkan, ketimbang hati nurani, entitas spiritual yang cendrung muncul lusuh dan bersuara rendah, sehingga kerap lebih gampang terketepikan.
David
Hume mungkin Machiavelli, atau Marx dalam versi subordinasi persoalan
yang berbeda, tetapi membangun teori-teori filsafat dari keyakinan yang
sama, yang lahir oleh pemikiran-pemikiran yang jenial, tetapi menutup pintu terhadap sesuatu yang sudah tak tersangkalkan yang bernama kebenaran final,
sehingga kaya dengan kontroversi. Ibnu Khaldun, yang kejeniusan
pemikirannya disebut Arnold Toynbee berada di atas Plato, Aristoteles,
Augustine dan sederet nama filosof terkemuka lainnya, seperti juga
al-Kindi, Ibnu Taimiyah dan al-Ghazali, secara tegas berpendapat, bahwa
filsafat khususnya metafisika, adalah mustahil jika digunakan unruk
memahami sebuah kebenaran final. Tuhan tak terjangkau
oleh ilmu itu, setinggi apapun capaiannya. Meski, seperti Hume, yang
menara keyakinannya telah menembus batas lapisan langit subtansi
pemikiran spiritual manusia biasa. “Yang mustahil bisa kita rubah lagi,”
kata David Boswell dengan kecewa.
SETIAP manusia memang perlu mengenal Sang Musuh
di dalam diri masing-masing. Peka terhadap karakteristik dan
kecendrungan kehendaknya. Rajin mengajaknya berdialog tentang semua
persoalan metafisis dan dunia. Dialog itu adalah rangkaian dari
bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan yang kemudian akan
melahirkan watak serta keyakinannya.
Kita
gampang bertemu seribu orang pintar, tetapi demikian susahnya untuk
mencari sepuluh orang baik yang bijak. Karena kepintaran hanya sebatas
ilmu, sedang kebaikan atau kebijaksanaan merupakan watak. Sesuatu yang
tidak wujud dalam sehari atau setahun. Tapi lewat usaha keras, dalam
sebuah proses panjang yang bertahap dari kegemaran berdialog dengan Sang Musuh untuk memahami dan mampu mengendalikan kehendaknya.
Membiarkan Sang Musuh di dalam diri semakin perkasa, akan mengaburkan jalan kepada kebenaran final.
Banyak mereka yang pandai. Bahkan jenius yang malah mungkin tanpa
sadar, terseret kepada kebutaan abadi yang tak terobati terhadap determinasi realitas di luar tembok tebal keyakinan yang telah dibangunnya. Seperti Hume, Marx, mungkin juga Sartre.
WATAK dan keyakinan, memang dibangun secara bertahap oleh rangkaian bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan. Masalah
kita semua tinggal, apakah jembatan itu akan membawa kita kepada cahaya
yang sarat dengan taburan hikmah kebajikan, atau justru malah menghela
kita ke padang sepi yang terasing jauh di perut kegelapan.****
Paradoks Berkah
TATKALA ruh kali pertama mengenakan busana raga, samudera dunia segera memperlihatkan bentang karunianya.
Adaptasi pendek puisi Jalaluddin Rumi ini, bertutur sangat dalam, tentang nikmat karunia Tuhan dan kedhoifan manusia.
Kehidupan
adalah samudera pilihan. “Bagi mereka yang datang untuk tumbuh, seluruh
dunia adalah taman,” kata Bawa Muhaiyaddin, sufi kelahiran Srilangka
yang punya banyak pengikut di Philadelphia AS. Dua muridnya Michael Green dan Coleman Barks lewat buku Shalat Lima Waktu Para Sufi (The
Five Times Prayers of The Shufis) kemudian meneruskan ajaran itu dengan
menyebut bahwa untuk mereka yang mau terus bermimpi, seluruh dunia
adalah panggung. Bagi mereka yang datang untuk belajar, seluruh dunia
merupakan universitas. Bagi mereka yang datang untuk mengenal Tuhan,
jagad dunia adalah Sajadah. Dan bagi mereka yang letih dengan berbagai kekotoran, Sang Makrokosmos yang luas ini merupakan air telaga.
Kehidupan
memang samudera pilihan. Tuhan tinggal hanya memberikan akal kepada
setiap hamba-Nya untuk mengenal partikel, tekstur dan warna hitam, putih
serta kelabu dari kehidupan itu sendiri. Kita mungkin sulit menemukan
mereka yang sejak lahirnya selalu enggan bersisian dengan dosa. Yang
lebih umum, adalah proses jatuh bangun di parit kotor lalu berusaha
kembali membersihkan diri.
Yang kemudian menjadi persoalan, tinggal sejauh mana totalitas pembersihan diri itu. Apakah khatarsis, eliminasi, modifikasi dan sublimasinya dalam mekanisme yang setengah hati, atau ia menjadi bagian proses yang tak lagi berbagi. Katharsis seorang manusia sebagai ends methaphisyicum
--mengutip Aristoteles yang menyebut setiap mahluk kodratnya
berfilsafat— harusnya berproses tanpa henti, sampai kematian
menjemputnya.
Pada
sisi lain, dalam tingkat derajat pemikiran tertentu, dari proses
pembersihan diri tersebut, seseorang juga bisa tiba di dermaga femahaman
total tentang sifat-sifat Tuhan yang tak pernah salah (Maha Tahu) dan tak pernah menyakiti (Maha Penyayang).
Maha
di sini bermakna superlatif sekaligus metafisis. Logikanya, kata filsuf
Avissena (Ibnu Rusjdi), kalau seorang penyayang saja mustahil akan
menyakiti, maka secara deterministik (tidak bisa tidak), apalagi yang
bersifat Maha Pengasih. Ini bukan tesa yang direduksi ke absurditas (reductio ad absurdum) yang gemar didalihkan filsafat Stoisisme pada era Hellenistik.
Ia rasional, tidak abstrak dan berjarak. Hanya saja mengapa kemudian
banyak manusia yang merasa telah berbuat kebaikan justru tetap
menderita, sementara yang durjana dianggap kaya dengan limpahan
karunia-Nya? Dalam bentuk apa sesungguhnya sifat Maha Tahu dan Maha Penyayang Tuhan itu harus dipersepsikan?
DI SINILAH sebenarnya kata berkah mewujud sebagai sebuah paradoksal. Bermakna ganda tetapi hakikatnya tetap tunggal arti. Berkah dengan demikian juga bisa indentik bencana. Dan kesenangan serta kemuliaan fisik milik seseorang yang berhati durjana yang dianggap dirinya maupun orang lainnya sebagai berkah keberuntungan, sesungguhnya adalah selimut bencana.
Karena keberhasilan yang terus dituai dari prilaku salah dan dosa-dosa,
merupakan jalan lapang kepada kerusakan jiwa milik mereka yang merugi.
Mereka yang bisa tercampak ke golongan para Ahli Neraka.
Sedang bencana di mata manusia biasa yang harus ditanggung oleh mereka yang lurus, merupakan berkah yang memang tak tertangkap secara kasat mata. Karena jika berkah
dalam bentuk kesenangan fisik harus diberikan Tuhan kepada mereka yang
lurus pada suatu ketika, ia justru akan merusak si empunya diri. Hanya Dia dengan sifat Maha Tahu-Nya yang faham tentang rahasia momentum yang tepat untuk ini. Kemudian oleh sifat Maha Penyayang-Nya
yang membuat Dia menentukan pilihan pemberian semacam itu. Kita manusia
terlalu dhoif untuk bisa menyibak tabir wilayah kehendak-Nya. Selain
itu berkah apa yang bisa kita sepakati sebagai sebuah keberuntungan,
jika ia kemudian hanya melahirkan bencana?
Uraian yang berkehendak kepada lahirnya keihlasan kehambaan total manusia terhadap Tuhannya ini, adalah landasan utama dari proses khatarsis, pembersihan atau reduksi diri seorang manusia yang ingin berdamai dengan kemuliaan. Jalan lapang ke pensucian diri. Kinesis terhadap kita-kita yang telah lelah menanggung kekotoran jiwa.
BAGI mereka
yang datang untuk tumbuh, kata Bawa Muhayaddin, dunia ini adalah taman.
Dan bagi mereka letih dengan kekotoran, jagad dunia ini adalah telaga.
Tinggal akal sehat kita yang menentukan, harus memilah ke alternatif
mana. Tapi percayalah. Hanya kedekatan yang dilandasi keihlasan tak
berhingga dengan Tuhan, yang mampu merubah sebuah kegalauan batin
menjadi samudera ketenangan jiwa. ***
Sang Takdir
MANUSIA adalah sekedar para pencari bahan bukti dan saksi terhadap jalan nasibnya. Tuhan-lah Sang Penentu vonis untuk takdir yang abadi. Tuhan tidak akan memvonis Hamba-Nya menjadi hina, atau yang tak tertolong, jika barang bukti dan saksi Si Hamba menunjukan bahwa dia kaya dengan kebersihan hati yang mengharmonikan hubungannya dengan sesama. Kaya
dengan kerja keras dan kesungguhan buat terus belajar memperbaiki diri,
yang akan merajut celah kekurangan peringkat derajat hidupnya.
Keseharian
seorang Hamba, dengan demikian, merupakan proses penabungan nilai diri.
Jika pilihan benda yang ditabung setiap hari itu adalah lembaran
kebaikan dan amal-amal yang terpuji, maka deposit kekayaan diri
tersebut, kerap mampu menjadi penyelamat pada saat-saat kritisnya di
samudera kehidupan ini. Sebaliknya, jika yang ditabung itu cendrung
hanya noktah-noktah rendah dari keserakahan dan nafsu serba materi, kesuksesan dirinya sekalipun bisa jatuh menjadi hampa makna. Bahkan tak jarang sarat dengan kegamangan dan kegelisahan jiwa.
Intinya,
Tuhan memberikan peluang bagi manusia untuk merekonstruksi dan
mengkonfigurasikan arah takdirnya sendiri. Karena bukankah Tuhan tidak
pernah menista mahluk-Nya, tetapi Si Mahluk yang ---sadar atau tidak---
gemar menggali liang keterpurukan derajat kekehidupan dirinya?
“Kuharungi
dengan takjub lautan kekayaan kehidupan ini. Tetapi aku tak mengerti,
mengapa begitu banyak manusia dengan nafsu hewani begitu bersemangat
mengais remah-remah kotor sampah duniawi,” tanya heran Abdul Faidh
Tsauban Dzun Nun Al Mishri, lewat sebuah syairnya. Mishri adalah Sufi
kelahiran Mesir yang dijuluki Wali Tersembunyi. Tokoh yang menurut peneliti Mistikus Islam Margaret Smith merupakan “pemilik wawasan luas tentang misteri-misteri Ilahi dan doktrin Kesatuan yang layak dipuji”.
Ibadah
dalam konstelasi pengejawantahan kehambaan vertikal entitas manusia
dengan Tuhan serta lintas horisontal hubungan antara sesama manusia,
memang hal yang prinsipil. Tetapi ia menjadi hilang makna, tatkala tidak
diawali oleh kebersihan hati. Itu yang mendorong seseorang terlihat
tetap taat beribadah ---tetapi mengadopsi kalimat Al Mishri tadi---, dia
juga tak masalah buat terus mengais remah-remah kotor sampah duniawi
yang merusakan diri. Gemar menabung sampah basi yang tak berharga bagi
kemuliaan derajat hati. Sebuah keterpakuan buta kepada doktrin psikologikal hedonisme, yang akan menyeretnya ke duri perangkap ekternalisasi. Ketidaksadaran untuk terus memamah sensasi fatamorgana sebagai realitas dari obyek-obyak nyata yang mempesona tapi memperdaya.
PEMBERSIHAN HATI,
akhirnya menjadi awal dari usaha manusia untuk membangun kehidupan yang
berkualitas. Karena hanya dengan hati dan jiwa yang semakin bersih,
nilai ibadah lintas vertikal dan horisontal seorang hamba menjadi lebih
bermakna. Bahkan ketulusan pengakuan seseorang terhadap kehambaan di depan Tuhannya, awalnya diukur dari kebersihan hatinya. Sebab seseorang tidak bisa mengaku dirinya ihlas beribadah dan menghamba, jika pada setarikan nafas yang sama, dia masih gemar melanggar perintah Sang Pencipta. Itu justru dusta yang menyiratkan penghianatan dalam nilai ketaatannya. Keihlasan semu yang telah melecehkan Sang Maha Segala..
Takdir,
sebuah wilayah Tuhan yang mustahil tersentuh manusia. Immanuel Kant
yang antara lain mengurai teori filsafatnya lewat buku Kritik Dari Pemikiran Sejati,
memang meyakini manusia sebagai entitas yang otonom. Yang akan dan
harus menentukan dirinya sendiri. Tetapi secara cerdas filsuf Denmark
Soren Aabi Kierkegaard dengan buku Fragmen Fragmen Philosophi,
membedah hipothesis itu melalui deskripsi kedhoifan manusia sebagai
mahluk yang serba terbatas. Maknanya, dalam keterbatasan itulah justru
Tuhan wujud dengan sifat serba Maha-Nya. Eksistensialitas manusia dengan
segala prilaku lanjutannya, dengan demikian, tidaklah berdiri sendiri.
Tetapi
itu juga bukan mutlak sebuah kendali. Sifat Maha Pengasih dan Penyayang
Tuhan, masih memberikan peluang manusia untuk merekonstruksi dan
mengkonfigurasikan sendiri pilihan arah Sang Takdirnya. Dan rekonstruksi itu, haruslah dalam wujud pilihan untuk selalu menciptakan saksi dan barang bukti terbaik yang membuat Tuhan akan menjatuhkan vonis yang juga terbaik bagi kebahagiaan dirinya di dua dunia.
KONKLUSINYA, manusia harus rajin menabung kebajikan, demi barang bukti dan saksi untuk arah vonis takdir indah dari Sang Maha Pengadil.
“Tetapi
mengapa begitu banyak manusia yang justru dengan nafsu hewani, secara
bersemangat mengais remah-remah kotor sampah duniawi?,” tanya heran Dzun
Nun Al Mishri. Kita punya jawaban masing-masing untuk pertanyaan ini.
***
Cak Nur
KEARIFAN dan
sikap cendekia, adalah produk dari sebuah proses panjang pengkayaan
serta pembersihan hati. Dan orang arif yang cendekia, biasanya lebih
suka berhotbah dan bermediasi dengan rangkaian prilaku kehidupannya,
ketimbang dengan celoteh bibirnya.
Sekitar lima
puluh tahun silam, kita pernah punya seorang pemimpin yang secara
jernih, mampu merefleksikan kedua watak cemerlang itu kedalam prilaku
kesehariannya. Sikap arif dan cendekia. Dialah Mohammad Hatta. Wakil
Presiden yang rendah hati. Yang selalu meletakan jabatan dan kekuasaan
terusung tinggi jauh di atas kepalanya. Bukan justru sebaliknya. Memaksa
pangkat dan kedudukan, lebih menghamba kepada kepentingan diri dan
kelompoknya.
Tatkala
prinsip ini terguncang oleh prilaku kekuasaan Presiden Soekarno, tanpa
masalah Hatta kemudian lebih memilih bersekutu dengan suara nuraninya.
Melepas seluruh atribut kehormatan sebagai orang kedua yang telah
dianugrahkan di pundaknya. Kebenaran menurut dia, tak boleh dilacurkan
oleh nafsu untuk tetap berkuasa.
“Karena
kebenaran adalah santapan lezat bagi sebuah kehidupan yang mulia. Hanya
tindakan bodoh untuk mengubahnya menjadi racun, lantaran terbius ambisi
terhadap nafsu yang rendah,” kata Abu Nashr As Sarraj yang menulis buku
menarik tentang Risalah Yang Memberi Cahaya Kepada Sufisme (al Luma, fit –Thasawwuf).
Setelah
itu, adalah awal dari masa panjang Republik ini kehilangan para
pemimpin yang arif cendekia. “Padahal kita sedang membutuhkan lebih
banyak manusia yang mampu memberi nilai tambah kualitas tinggi kepada
bangsa dan negara yang muda ini,” kata mantan Perdana Menteri Termuda
RI, Sutan Sjahrir lewat buku yang ditulis dengan kemampuan sastra yang
kuat, “Renungan Indonesia” di awal tahun 50-an dengan nama samaran Syahrizad.
Tapi
menegakan kebenaran, di masa Soekarno, bisa menjadi penghinaan terhadap
kekuasaan. “Karena Soekarno sudah menjadi perluasan dari kebenaran itu
sendiri. Apa yang dikatakan Soekarno adalah kebenaran,” gerutu kesal Soe
Hok Gie (saudara Arief Budiman), tokoh Angkatan 66, Si Jenius yang mati
muda, melalui buku tebal Catatan Seorang Demonstran.
Penegakan kebenaran, adalah tongkat perjuangan yang harus diambil para Penghulu Suhada kemanusiaan. Dan ketika Republik ini sudah terpuruk ke dalam apresiasi sinisme sebagai Republik Maling, Republik Para Bandit, di mana hukum hadir dengan naif dan compang-camping, maka dahaga kepada hadirnya sosok Penghulu Suhada Kemanusiaan, kepada
pemimpin yang kharismatis oleh prilaku cendekia dan sikap ariefnya,
terasa lebih mencekik leher keinginan bangsa ini. Sosok pemimpin yang
arief cendekia, adalah kerinduan dalam narasi besar bangsa kita yang
sedang menderita.
DR NURCHOLIS MADJID atau Cak Nur, mungkin tidak dalam kapasitas seorang Resi,
untuk ukuran sebuah sikap arief dan cendekia. Tetapi menurut hemat
saya, dia saat ini salah seorang tokoh calon pemimpin terbaik bangsa dan
negara ini. Latar kuat kedalaman ilmu agamanya, tidak membuat Cak Nur
akrab dengan serba fatwa dan sabda, serta pemikiran-pemikiran yang
konservatif dogmatis. Sebaliknya, Cendekiawan yang jauh dari sikap
arogan ini, juga tak pernah terjebak ke dalam prinsip pandangan politik
yang berbau sekularistik nyeleneh.
Sekitar lima tahun silam, dari ulasannya tentang Agama dan Politik Dalam Islam hasil kajian Yayasan Paramadina
yang saya baca, Cak Nur dengan argumentasi yang jernih menguraikan
korelasi dan independensi hubungan antara agama (Islam) dengan politik.
Intinya adalah kemampuan akomadasi Islam yang tinggi terhadap
modernitas, di tatanan konstelasi kehidupan yang egaliter dalam politik
berbangsa dan bernegara.
Cak Nur yang sekarang berminat untuk menjadi calon presiden, tampil dengan konsep dan flatform
yang jelas terhadap langkah-langkah perbaikan bangsa dan negara ini.
Saya menangkap semangatnya untuk menyendikan motivasi semangat ibadah di
dalam kehidupan berpolitik. Waktu memang masih akan menguji kekuatan
moralnya ---jika Tuhan memang mengijinkannya berkuasa---, apakah dia
tetap mampu meletakan jabatan dan kekuasaan selalu terusung tinggi jauh
di atas kepalanya. Bukan justru sebaliknya. Memaksa pangkat dan
kedudukan, lebih menghamba kepada kepentingan posisi diri dan kompromi
politiknya. Semua itu masih serba tanda tanya.
Tapi satu hal yang tetap jelas, bahwa kearifan dan
sikap cendekia, adalah produk dari sebuah proses panjang pengkayaan
serta pembersihan hati. Dan orang arif yang cendekia, biasanya lebih
suka berhotbah dengan rangkaian prilaku kehidupannya, ketimbang dengan
celoteh bibirnya. Itulah modal berharga yang menonjol milik seorang Cak
Nur, untuk berkuasa. Kekuatan langka yang tidak ditemukan pada karakter
para tokoh pemimpin kita yang lainnya.***
Sang Busur
KALI ini musim dingin terasa lebih panjang bagi Charles Franklin Kettering. Di
balik jaket tebalnya yang lusuh, dari kaca pintu yang kabur, anak muda
ini termangu memperhatikan kabut salju yang mendekap seluruh Loudonville Ohio. Butir-butirnya yang putih, melayang jatuh dalam wujud tebaran gelombang bagai gerak kain gorden satin di balik jendela yang terbuka.
Franklin Kattering sadar, kehidupan panjang di luar sana,
akan tetap kabur dan dingin, jika dia tak berjuang lebih ekstra keras
dari sekarang. Dia akan tetap hidup di balik jaket lusuh itu. Merasa tak
nyaman oleh kamar sempit dan dingin yang menusuk, jika tak segera
membuat sebuah busur pendorong kehidupan yang benar. Dua
puluh tahun kemudian, anak muda miskin ini mencengangkan dunia dengan
140 temuan penting di dunia fisika terapan.
Presiden dan GM General Motor Research Corporation, pendiri Institut Sloan Kettering untuk Riset Kanker dan Ketua Dewan Penemu Nasional AS yang meninggal tahun 1958 dalam usia 82 tahun di Dayton Ohio itu, bukan hanya mampu membuat hidupnya cemerlang, dia juga telah memberikan jasa besar terhadap kemajuan peradaban manusia.
“Saya melesat dari sebuah Busur yang dibangun dengan benar dan digunakan secara benar,” katanya suatu ketika.
JIKA kehidupan
memang desing sebilah anak panah, maka destinasi dan jarak tempuhnya,
menjadi bagian dari produk mekanisme yang diproses Sang Busur. Tuhan tak membuat bumi terang, tanpa matahari. Ada
sebuah hukum kausalitas. Sebab dan akibat. Sebuah proses logika. Itu
yang mendorong filsuf RW Emerson dengan lantang menyebut, manusia yang
picik percaya kepada keberuntungan, sedang insan yang bijak lebih
percaya kepada sebab dan akibat. Tuhan membuat Cecak yang melata mampu
hidup dari memakan serangga yang terbang. Tetapi Tuhan tak melemparkan
serangga itu langsung ke mulut Si Cecak. Ada hukum kausalitas, sekaligus realitas.
Rahasia Kerajaan Tuhan, kata Al Ghazali dalam sebuah kajian antropologi metafisika ke femahaman ilmu tasawuf, mustahil
tersingkapkan oleh mereka yang bertuhankan hawa nafsu, bersesembahan
para penguasa, berkiblatkan materi dan bersyari’atkan kecerobohan.
Karena
itu, sebuah tali gendewa yang lemah, lengkung busur yang tak presisi,
gerakan yang tak fokus, jelas juga akan mengirim anak panah ke sasaran
yang salah. Tetapi kearifan dalam konsistensi dan intensitas pencapaian
target cita-cita, ladang subur akal budi yang selalu mengalirkan air
kesejukan hati, seperti dimiliki Charles Franklin Kettler, juga tidak
dibangun dalam sehari. Gosokan rutin setiap harilah yang membuat kehidupan ini menjadi berkilat.
Konstruksi Sang Busur
yang mengkonfigurasikan paduan tekad dan cita-cita, adalah jawaban ke
arah mana nantinya anak panah kehidupan setiap orang akan ditujukan.
Sayid Abdullah Al-Hadad, sufi kelahiran Yaman yang menulis buku tasawuf
populer, Risalah al-Mu’awanah, menyebut makna penting
setiap manusia untuk selalu memupuk dirinya agar hari demi hari berusaha
menjadi manusia sukses yang berbudi. Rela menyandang beban pahit,
mengais dengan susah payah, hanya buat mampu memberi makanan yang
bernilai bagi jiwanya. Karena itulah yang akan menjadi modal awal
sekaligus kendali dirinya untuk melangkah lurus di dua dunia yang
berbeda.
SAYA, kata Charles Franklin Kettler, melesat dari sebuah Busur yang dibangun dengan benar dan digunakan secara benar. Setiap kita, juga punya masing-masing sebuah Busur kehidupan.
Hanya bagaimana kita membuat dan menggunakan busur itu, akan membedakan
ke arah mana anak panah kehidupan masing-masing akan tertuju.***
Ten Sing
NAMA Sir
Edmund Hillary mungkin hanya akan tercatat sebagai manusia pertama yang
hampir mencapai puncak Gunung Everest. Bukan sebagai manusia pertama
yang benar-benar sukses mencapai bagian tertinggi gunung itu seperti
tercatat dalam sejarah. Pemandu jalan pribuminya yang lugu dan dekil, Ten Sing, telah membantu menciptakan rekor cemerlang tersebut.
Sir
Edmund Hillary sudah hampir mencapai puncak gunung Everest, ketika
kakinya terpeleset dan tubuhnya siap melayang jatuh ke bawah. Saat
itulah tanpa memperdulikan nyawa sendiri, Ten Sing dengan nekat merenggutkan tubuhnya ke tempat aman.
Sir Edmund selamat. Tapi apakah Ten Sing, Si Lugu yang
telah membutikan dirinya punya komitmen moral demikian tinggi terhadap
tugas dan kewajibannya, merasa menjadi Pahlawan? Atau setidaknya merasa
telah berjasa kepada Sang Bangsawan? Tidak. “Pekerjaan
saya, adalah untuk melindungi Anda. Dan itulah yang telah saya lakukan,”
katanya tanpa intonasi suara, bahwa ada sesuatu yang istimewa. Bukan
main.
Setiap kita
punya sejarah kehidupan. Dan sejarah itu tak pernah miskin dengan detil
dan rincian. Persoalannya tinggal apakah kita mau jujur menyimak dan
merenungi setiap rincian dan detil itu. Mengakui, betapa di tingkungan
deret data itu, di gelombang konturnya, di sudut konklusinya, terdapat
sikap-sikap miring, bahkan mungkin penghianatan dan prilaku munafik.
“Kemabukan kepada perenungan diri, menjadi bagian tak terpisahkan dari kelahiran para sufi yang ingin terjun di lautan ilmu Rububbiyah
(Ketuhanan),” kata R.A. Nicholson, Orientalis pengkaji kehidupan para
ahli tasawuf yang terkenal. Dan jika ingin mengadopsi pendapat filsuf
Islam Al Farabi yang sangat terinspirasi oleh Plotinus, perenungan,
kontemplasi diri sebagai bagian dari pensucian jiwa, adalah jalan kepada
pemurnian moral.
Ini
persoalan substantif. Karena bukankah nilai seorang manusia, ditentukan
oleh moralnya? Kemasan tak pernah mempengaruhi isi. Keliru jika kita
terpaku hanya pada apa yang di kulit, tidak di Isi “Seperti juga keliru
menilai kedewasaan hati seseorang dari uban di rambutnya,” tutur penulis
Edward Bulwer Lytton.
Integritas
moral, merupakan harta yang sangat mewah untuk sebuah jiwa yang kerdil.
Tetapi jiwa besar juga tak harus berada di tubuh seorang intelektual.
Atau di hati seorang ulama. Maupun di batin seseorang yang dari
kemasannya merupakan manusia terhormat dan berkedudukan. Jiwa yang besar
juga bisa bersemayam di diri manusia dekil dan
sederhana semacam Ten Sing. Manusia yang mungkin tak berharga apa-apa di
mata kita, tetapi berkilau di lautan kekayaan hati. Manusia yang
sejarah kehidupannya, jelas sederhana, tetapi sebenarnya, bisa lebih
indah dan bersih ketimbang sejarah kehidupan milik kebanyakan kita.
Ramai
orang yang merasa telah berbuat hebat. Padahal untuk karyanya, dia
memperoleh fasilitas negara atau kenyamanan yang jauh di atas rata-rata.
Mereka yang ingin dinilai dirinya istimewa, padahal dia tidak menghamba
kepada kedudukan dan tanggungjawabnya, justru sebaliknya diam-diam
menjadikan posisinya sebagai hamba kemauannya.
Tidak
sedikit manusia yang piawai saat bicara tentang kelebihan prestasinya,
tetapi begitu tolol saat menilai kekurangan dirinya. “Hati yang kotor
selalu cendrung hanya mengenang segelintir kebaikan yang telah
dilakukan, tetapi alpa terhadap setumpuk kebusukan yang telah
dikerjakan,” kata pepatah lama.
Seorang Ten Sing yang lugu dan dekil tidak begitu. Tindakan historikal
yang penuh keberanian di mata kebanyakan orang, cuma sebatas
manifestasi terhadap tanggungjawab di matanya. Ten Sing memang bukan
penganut narsisme atau sejenis Beruang yang gemar bertepuk dada. Ten Sing adalah sebuah cermin sederhana untuk berkaca.
SETIAP
kali menyimak detil dan rincian sejarah kehidupan sendiri, saya tak
jarang merasa malu. Begitu banyak kebodohan, sikap tidak tahu diri,
culas bahkan kemunafikan dan arogansi yang terselip di sana.
Sesuatu yang membuat saya selalu bertanya, tidak tololkah jika diri ini
kadang masih saja mampu untuk dengan pongah bertepuk dada?***
.
Buku Manusia
MANUSIA adalah
sejilid buku. Mata Abul Qasim al-Junaid yang semula redup, mendadak
melebar tegang, ketika dengan lembut dinasihati agar berhenti membaca
kitab suci, di saat fisiknya sudah terlihat demikian lemah menjelang
detik-detik akhir hayatnya.
“Siapakah
yang lebih pantas daripada aku berbuat begini, di saat-saat sangat
kritis di mana halaman buku hidupku akan ditutup?,” bisik Sang Sufi yang
pakar fiqih dari mahzab Abu Tsaur ini, dengan suara hampir tak terdengar. Para sahabat di sekitarnya hanya saling pandang membisu.
Apa
yang terbaik dilakukan seseorang, di saat-saat sangat kritis, di mana
halaman buku kehidupannya akan ditutup usai? Dan pernahkah kita terpikir
suatu ketika akan berada di titik kulminasi momentum sangat mendebarkan
dan sekaligus teramat mengerikan seperti itu? Lalu apa yang nantinya
mampu kita lakukan, selain ketakutan yang menggigilkan, karena akan
pergi sendirian ke dalam samudera misteri kegelapan yang tak berbatas
dan berpenghabisan?
Manusia
adalah sejilid buku. Yang menyenangkan, kita tahu persis di mana lembar
pertama dari buku itu di awali. Tapi yang selkaligus merisaukan, kita
tidak pernah tahu di mana nanti halaman buku itu berakhir. Kematian
jadinya, seolah belati tajam yang mengincar punggung kita dengan diam
dari kegelapan.
“Manusia
adalah pencipta kebahagiaan dan kesengsaraannya sendiri”, kata Charles
Albert Poissant. Pakar pembangunan pribadi yang menulis buku menarik
tentang Rahasia Keberhasilan 10 Jutawan Terkemuka Dunia
ini, mengingatkan kembali bahwa seseorang harusnya tidak terlalu
mempersoalkan apapun yang telah terjadi dengan dirinya, yang penting
bagaimana caranya menyikapi apa yang telah terjadi itu. Bagaimana
membuat isi halaman-halaman dari kehidupan terus semakin bernilai dan
membaik. Sehingga pada saat ia berakhir secara mendadak pada halaman
tertentu, maka lembar itu tetaplah lebih baik dari lembar sebelumnya.
Bukan sebaliknya. Karena intinya, bukan saat kelahiran dan jalan
kehidupan megah yang kita butuhkan, tetapi kematian indahlah yang lebih
didambakan.
Saya
sebelumnya juga pernah menulis bahwa setiap kita adalah sejilid buku.
Sesuatu yang bukan hanya bisa kita baca sendiiri, tetapi juga bisa
diam-diam disimak orang lain. Soeharto, Saddam Hussein, George W Bush,
Hitler, Marcos atau bahkan Si Sahdul yang tak dikenal, masing-masing
sejilid buku. Mereka bukanlah buku yang baik. Tapi itu tak penting. Yang
mendasar, apakah kita ingin membiarkan diri kita menjadi buku yang
sama? Yang akan dibaca setiap orang dengan banyak gelengan kepala?
Melihat
kehidupan orang lain sebagai sejilid buku, memang lumayan bijak. Karena
itu akan memberikan referensi dari sebuah kehidupan lain yang dapat
kita pelajari. Dan harusnya, itu akan membuat buku kehidupan kita bisa
ditulis menjadi lebih baik lagi. Sebab bukankah kodrat manusia cendrung
selalu lebih cerdas dan arif ketika menilai orang lain, tetapi tidak
saat menilai dirinya sendiri?
Begitu
banyak buku di sekitar kita. Begitu banyak ragam atau mungkin tragedi
yang berada di dalamnya. Sekaligus juga begitu banyak hal berharga yang
bisa disimak dan direnungi.
Kita
ingin halaman buku kita berisi tentang kebahagiaan diri kita. Soalnya
menurut penulis Raplh Waldo Emerson, kebahagiaan adalah minyak wangi
yang tidak bisa Anda tuangkan kepada orang lain, tanpa Anda sendiri
terkena beberapa tetesnya. Kita juga ingin halaman itu memuat tentang
dedikasi pengabdian kepada kehidupan orang lain. Sebab mereka yang
mendatangkan sinar matahari ke dalam kehidupan orang lain, kata filsuf
James M Barrie, tidak akan bisa menyembunyikan kecemerlangan sinar itu
dari dirinya sendiri.
KITA
tidak tahu, kapan buku kehidupan kita akan berakhir. Dan kita juga
bukan Abul Qasim al-Junaid yang masih mampu terus membaca kitab suci
menjelang tarikan nafas terakhirnya. Seseorang yang demikian
sungguh-sungguh mempersiapkan saat-saat menggetarkan menjelang
kematiannya, jauh sebelum momentum itu sendiri tiba. Sebelum buku
kehidupannya ditutup.
Seseorang
yang di saat terakhirnya membuat kita takjub, karena ketika diminta
berhenti membaca kitab suci masih mampu mengatakan “Siapakah yang lebih
pantas daripada aku berbuat begini, di saat-saat sangat kritis di mana
halaman buku hidupku akan ditutup?” ***
Sombong
HASAN BASHRI
mengangkat tangannya yang gemetar dengan wajah jijik. Telunjuknya
mengarah kaku kepada dua manusia yang duduk di pinggir sungai berair
deras di depannya. Tak ada yang lebih memualkannya dari sebuah kepongahan seseorang dalam mempraktekkan perbuatan dosa di depan umum.
Anak
muda itu benar-benar jahanam. Apakah memang tak ada tempat lagi bagi
rasa malu di dadanya dengan menggandeng seorang wanita setengah baya
yang cantik itu, sementara sebotol minuman lengket di tangannya?
Sang
Ulama hampir saja mengumbar kecaman, ketika mendadak lewat sebuah
perahu berisi tujuh wanita dan anak-anak yang tiba-tiba oleng di sungai
itu. Jerit ketakutan dan permintaan tolong, membuat anak muda itu dengan
sigap meloncat ke dalam air. Dia selamatkan enam diantaranya serta
berteriak meminta Hasan Bashri menyelamatkan seorang yang lainnya. Tapi
Sang Ulama hanya bisa melongo takjub kebingungan tanpa melakukan apapun.
“Kepongahan
telah membutakan matamu. Botol yang kupegang ini hanya berisi air putih
dan wanita ini adalah Ibuku yang buta dan hampir setiap sore kutemani
di sini untuk mendengarkan suara air. Karena beliau sangat menyukainya”.
Hasan
Bashri tersentak dengan seluruh tubuh yang mendadak gemetar. Matanya
berkaca-kaca karena beban rasa malu yang tak tertanggungkan batinnya.
Dia kemudian meminta ma’af dan penyesalan dengan prilaku seperti seorang
Pecundang yang kehilangan segala-galanya.
Peristiwa
di sungai Dajlah itu tak pernah terpisahkan dari riwayat Abi Said Al
Hasan bin Yasaar Al Bashri yang wafat sekitar 600 tahun silam di Basrah
Irak. Sebuah pengalaman hidup sekaligus pengalaman batin yang kemudian
menjadikannya salah seorang sufi masyhur karena kerendahan hati serta
ajarannya yang dijadikan banyak ahli tasawwuf sebagai rujukan pemikiran
yang cemerlang.
Kesombongan
atau sikap pongah, memang sekutu kegelapan. Anak kandung kehancuran
yang membuat sejarah peradaban manusia sarat dengan kisah-kisah bodoh
yang memalukan. Hitler, Polpot, Alexander yang Agung, Ferdinand Marcos,
bahkan Bush dan Saddam Hussain, adalah mereka yang tanpa merasa bersalah
membangun benteng citra dirinya dengan kesombongan. Dan kita, dalam
bentuk serta ukuran dan versi yang lain, setiap hari juga tak jarang
mengenakan pakaian karakter semacam itu. Yang membuat kita sering
terseok, terbentur, sekaligus terketepikan.
Yang
mentakjubkan, kesombongan justru juga sering bersarang dibibir yang
sebenarnya selalu basah oleh kerapnya menyebut nama Tuhan. Fakta yang
memaksa Francois Marie Voltaire menulis sejumlah satir. Filsuf Perancis
pejuang Aufklarung yang gigih ini, menyebut perasaan diri yang bersih,
awal dari kesombongan. “Dan kesombongan, sesungguhnya bukti seseorang
tidak menyayangi dirinya,” kata sufi kelahiran Maroko yang terkenal,
Sayyid Ahmad Ar Rifa’i
Tapi
jika memang sikap pongah bagian dari kekuatan destruktif terhadap
moralitas yang akan melapukkan pondasi martabat dan dinding tempat
dibangunnya kearifan, mengapa manusia tetap saja tak masalah untuk
memeliharanya? Dalam psikologi metafisika yang membahas filsafat moral,
sombong memang bersifat kodrati. Tetapi ia juga bukan susatu yang tak
terfahamkan. Dengan demikian, berarti juga bukan sesuatu yang tak
mungkin dikendalikan bahkan dihapuskan.
Persoalannya,
adalah kepada keengganan untuk memahami diri sendiri. Padahal bukankah
di mana keinginan untuk becermin hilang, sebenarnya di situ sikap cupat
dan kesombongan akan bermula?
HASAN BASHRI memegang tangan pemuda yang mungkin seorang Malaikat itu dengan air mata berlinang. Dia memohon dengan bibir gemetar.
“Dengan
kekuasaan Allah, tuan telah membantu enam orang itu sehingga selamat
dari kematian. Sekarang selamatkanlah saya dari tenggelam lebih dalam di
dasar sungai kebanggaan dan kesombongan yang menghancurkan ini”***
Keberanian Sejati
SUKSES
tak pernah final. Dan kegagalan tak pernah fatal. Keberanianlah yang
penting. Tetapi keberanian dalam wujud bagaimana yang mungkin dibangun
seseorang untuk tetap tangguh, tatkala dirinya sendiri sudah terkapar di
rawa keterpurukan yang terus menghisapnya semakin dalam?
Dalam
degup suasana yang semarak, musik yang bising, wajah-wajah cantik dan
bau alkohol yang menyatu dengan aroma parfum dari keringat yang
bersimbah, bekunya rasa pahit dari kegagalan, juga bisa dicairkan. Ini
pendapat setengah Eksekutif yang sedang kehilangan pegangan. Mungkin akibat karier yang remuk. Atau hidup yang berantakan.
Andai itu sebuah pilihan yang bisa disebut berani dalam memilih kompensasi, maka mereka mungkin telah menjadi para Pemberani
yang membangun keberanian dari fondasi yang salah. Orang-orang yang
sedang bersandiwara untuk menutupi ketakutan sejatinya terhadap
kehidupan. Sebab secara jujur, bukankah dia percaya ada kehidupan lain
setelah kematian? Dan bukankah -–seperti diajarkan agama manapun---
kepercayaan terhadap hal itu, sekaligus juga kepercayaan terhadap
berlakunya dialektik aksiomatika teologisme menyangkut hukum dan
perbuatan?
Ketakutan
terhadap kehancuran hidup, terhadap kegagalan usaha, pada dasarnya
masih ketakutan sebatas kemasan. Ketakutan yang tidak “substansial”.
Ketakutan sejati, adalah ketika seseorang merasa ngeri terhadap ketidakberdayaan dirinya dalam mengusung hukum Tuhan.
“Oleh faktor kebendaan, kita memang sering berhadapan dengan mereka --yang sadar atau tidak – memungkiri realitas kehambaannya kepada Sang Pencipta,” kata failusuf penganut faham Neo-Platonisme Arab kelahiran Cardoba Spanyol, Ibnu Rusjd alias Averroes.
Akibat hal itu, strategi dan kalkulasi hidup seseorang tidak dibuat
dalam tatanan semangat serta manajemen seorang hamba. Tetapi absolutisme
seorang pemilik diri.
Sementara
pemungkiran itu, akan membuat keberanian yang bangkit didirinya untuk
menantang kegagalan, keterpurukan atau ketidakberdayaan dalam kehidupan,
akan muncul sebagai keberanian yang tidak substantif. Karena ketika dia kalah dalam pergulatan perlawanan tersebut, kompensasinya bisa ke wujud prilaku yang fatal. Seperti sengaja menyelam lebih dalam ke rawa yang menghisap dan mematikan.
Manusia mungkin perlu lebih dahulu mengenal keberanian sejati, kata lain dari kemauan sangat kuat dalam mematuhi kewajiban kehambaan-nya, sebelum dia yakin telah menjadi Si Pemberani dalam menghadapi setiap tantangan kehidupan. Keberaniannya harus bangkit dari sumber dan akar yang benar. Karena di mata Si Pemberani Sejati,
sukses tak pernah final dan kegagalan juga tak pernah fatal. Sebab
strategi dan kalkulasi kehidupannya bersumber dari manajemen seorang
hamba. Kesadaran kepada kehambaan terhadap Sang Pencipta, dan kepatuhan dari tuntutan terhadap penghambaan itu, akan membuatnya tak mudah goyah saat diterpa masalah atau tumbang tatkala kehilangan pegangan.
PESAN sederhana yang klasik ini meyakinkan, bahwa Si Pemberani Sejati
tak pernah kecut berdepan dengan resiko kehidupan sesulit apapun.
Karena itu dia juga meyakini bahwa sukses tak pernah final dan kegagalan
tak pernah fatal. Ada Maha Kekuatan
tersendiri yang mengatur semua itu. Sehingga, kebodohan apa yang harus
membuat seseorang untuk lebih menghancurkan dirinya, saat sadar manusia
tak punya hak bahkan untuk menyentuh sebiji mur di mesin maha raksasa takdir yang diatur oleh Sang Penentunya?***
Yang Tegak di Ketinggian Dunia
ADA ambisi yang lebih luhur, dari sekadar tegak berdiri di ketinggian dunia. Cobalah membungkuk. Berusahalah untuk mengangkat mereka yang tak berdaya.
Henri Van Dyke, tidak
merasa dalam posisi “yang tegak di ketinggian dunia”, ketika melansir
petitih itu. Namun kacamata filosofis sang penulis ini secara jernih
memahami kewajiban kodrati bagi setiap manusia yang berada sedikit lebih
tinggi dari yang lainnya.
Tapi
tunggu dulu. Kenikmatan apa sebenarnya yang bisa dikecap dari kegemaran
untuk “mengangkat mereka yang tidak berdaya”? Untuk menolong kaum yang
sedang terpuruk atau sengsara?
Pada
sementara orang, ini bisa menjadi pertanyaan yang aneh. Tapi
percayalah. Jawabannya justru bisa dijadikan barometer dari kualitas
kemanusiaan yang ada di diri setiap orang. Karena
kebijakan dan kekayaan budi, sebagai kilau mutiara kehidupan, bersumber
dari keinginan untuk selalu memberi nilai tambah terhadap manusia lain
yang sedang kesulitan atau tak berdaya.
Saya, kata
Willem de Sitter ---astronom masyhur Belanda yang menemukan teori
tentang jagad raya yang selalu berkembang seperti gelembung sabun yang
terus membesar---, bukanlah orang berbudi dan bijak. Saya hanya orang
biasa yang setiap hari selalu berusaha untuk menjadi orang baik, dengan
berbuat baik kepada setiap orang. Tapi justru dari sana kita
agaknya sepakat untuk menyebut Willem adalah manusia bijak yang
beruntung. Karena bukankah menurut motivator ulung Henry David Thoreau,
kebaikan merupakan satu-satunya investasi yang tak pernah gagal? Dan
kita juga tak harus lupa, bahwa kitab suci mengingatkan, Tuhan suka
meringankan beban seseorang yang juga gemar membantu meringankan beban
saudaranya yang lain.
Kita
sering menemukan mereka yang hidup berkecukupan, tapi justru terkesan
selalu hidup serba kekurangan. Dia bagai Ayam lapar yang mengais dan
mematuk partikel terkecil dari serpihan makanan, tak perduli apakah
berada di balik lumpur kotor yang menjijikan. Kita tidak jarang
menemukan orang-orang kaya dengan hati yang dingin membatu. Mereka yang
tak berpaling, saat mendengar keluhan lapar dari orang-orang di
sekitarnya. Orang-orang yang terus berjuang hanya untuk membesarkan
dirinya. Mereka yang sadar atau tidak, sebatas hanya berambisi ingin
tegak sendiri “di ketinggian dunia”.
Ketika Abu Yahya Malik Bin Dinar menanggalkan semua cita-cita untuk menjadi orang penting di pemerintahan Mua’wiyah Persia
pada paruh abad ke-8, lelaki berotak cemerlang ini, sedang menemukan
jalan lebih tepat untuk dirinya. Semua jabatan tinggi di dunia politik
dan pemerintahan, secara halus ditolaknya. Malik memang sedang menuruni ketinggian dunia. “Saya tak mampu menanggung konsekwensi bebannya,” kata sufi besar salah seorang perawi hadis Nabi Muhammad SAW ini.
Banyak
memang mereka yang rindu terhadap nikmat berada di posisi yang tinggi
dan mulia. Tetapi sangat sedikit dari mereka yang faham terhadap nilai
kehormatan sejati yang terkandung di dalamnya.***
Martir
BERNARD
Caurtois terpaku bisu di depan kertas penuh catatan di mejanya.
Tangannya yang letih, menggantung lemah di bahunya yang tipis. Jika
harapan merupakan energi kehidupan, dan semangat adalah tolok ukur
terhadap sebuah cermin sukses, Cartois telah kehilangan segalanya.
Sebulan kemudian, penemu iodine (Yodium) yang termashur ini meninggal dalam kondisi papa. Orang-orang melecehkan temuan bernilainya.
Kebanggaan
tertinggi di mata batin, yang selalu berkilau di rentang sejarah
peradaban kemanusiaan, adalah kerelaan untuk menjadi martir bagi
pembelaan kehidupan dan kehormatan umat manusia.Tapi seberapa banyak
mereka yang menerawang jauh berpikir ke sana?
Orang-orang yang risau, resah dan gelisah, jika menyaksikan terjadinya
penistaan terhadap hak-hak azasi dan kehormatan kemanusiaan? Mereka yang
kemudian rela menjadikan dirinya tumbal untuk melakukan perlawanan
dalam berbagai bentuknya, terhadap hal itu. Seperti yang dilakukan
Bernard Courtois yang rela memberikan seluruh hidupnya untuk menciptakan
obat yang berharga bagi manusia. Atau kerelaan para Mujahid yang ingin menyabung nyawa demi rakyat Irak, rakyat dari negara peradaban Islam yang sedang berusaha dikuasai nafsu angkara.
Tekad
semacam itu, mungkin sebuah kontroversi, akibat kerap tak sama dan
biasnya landasan berpikir serta visi setiap orang untuk menilainya. Tapi
satu hal yang sesungguhnya tak boleh dilupakan, adalah bahwa telah ada
mereka yang bersedia mati untuk sebuah keyakinan yang mereka anggap
benar. Orang-orang yang menurut sufi besar Maroko Sayid Ahmad a-Rifa’i,
pendiri TharikRifa’iyah ah, tak termasuk “kelompok yang selalu berpaling sehingga sulit sampai di tujuan”. Mereka yang tak pernah merasa ditaklukan, karena –kata Napoleon Bonaperte—orang yang takut ditaklukan pasti kalah. Orang-orang yang penuh semangat. Sebab di mata penulis James Mark Badlwin, api tidak bisa dibuat dari bara mati. Sehingga antusiasme, juga tak bisa dibuat oleh orang-orang yang telah kehilangan semangat.
Antusiasme,
semangat untuk rela berkorban secara total demi kepentingan umum yang
dinilai sangat berharga, selalu mempesona kita. Pada tempatnyalah kita
becermin ke sana, untuk sebuah introspeksi mengenai siapa kita. Kita, Si Pandai dan Si Baik yang sebenarnya sebatas hanya lebih piawai mengkritik, menyalahkan dan bergumam.
“Siapa
itu yang menyelimuti sikap pengecutnya dengan mengecam para martir
dengan menyebutnya sebagai orang-orang tolol yang mati sia-sia?”. Kita
saling pandang oleh teriakan dari dalam gelap semacam itu. Kita tak tahu
harus bicara apa.
Tapi mungkin bijak untuk kembali mulai mengamati, siapa saja di sekitar kita selama ini yang sebenarnya rela untuk menjadi Martir Kecil.
Mereka yang tak masalah mengorbankan sebagian waktunya, sebagian
hartanya, sebagian tenaganya, sebagian perhatiannya, demi kepentingan
kemanusiaan yang lebih besar. Atau setidaknya, menjadi penolak peluang
terbuka demi keuntungan pribadi karena sadar itu akan mengorbankan harga
dirinya dan memperkosa hak-hak orang lain.
Kita
mungkin memang tak harus sampai menjadi seseorang seperti Bernard
Caourtois. Pria ringkih yang total berkorban untuk bisa menciptakan
Yodium. Atau berprilaku seperti Curie bersaudara yang bertungkus-lumus
terus menggoreng baja buat menemukan uranium. Atau sampai menjadi
seorang Mujahid Indonesia yang rela mati, meninggalkan sanak saudara, untuk ikut membela rakyat Irak yang sedang sengsara.
Kita
mungkin patut untuk mempertimbangkan kesediaan buat melawan arus kuat
agar bisa menghargai mereka yang rela menjadi martir demi keyakinannya.
Sebab pilhan itu, juga akan menjadikan kita sebagai martir di dunia
keyakinan.
Berhentilah sebatas hanya menjadi Si Pandai dan Si Baik
yang cuma piawai mengkritik, menyalahkan dan bergumam. Karena Si
Pengecut, kata Alexsander Yang Agung, adalah mereka yang terus berbicara
di balik tembok tebal yang aman.****
Zikir Dunia
PADA batas tertinggi pemahaman terhadap eksistensi Ilahiah, nalar akan berubah gamang kehilangan gravitasi dan distinasinya.
Bahkan juga hampa ruang, durasi, bentuk dan wujudnya. Fatamorgana
kecemerlangan berpikir di cakrawala metafisika, ikut terpuruk jatuh di
sangkar keresahan jutaan tanda tanya yang mustahil terjawab dan
teranalisa.
Oleh dahaga kerinduan kepada pencarian wujud Sang Pencipta, Abu Yazid al-Bisthami berenang jauh di samudra luas ilmu Ketuhanan yang tak henti menggetarkan garpu penala bening pikiran dan kalbunya. Dialah Sang Sufi
yang hatinya tak pernah terusik oleh apa yang dilihat oleh matanya, dan
tak pernah terganggu oleh apapun yang terdengar di telinganya. Namun
Ulama besar Persia kelahiran Khurasan yang lebih 30 tahun bertualang di
padang pasir Syria ini kemudian menyentakan kita, tatkala di penghujung
pencarian panjangnya berkata, Tiada Tuhan selain Aku. Akulah Allah Sang Maha Pencipta.
Abu Yazid telah tenggelam dan sirna di dalam ke-Esa-an Ilahi. Al-wahidul ahad. Jangan mendebat dia. Karena di sini, nalar telah kehilangan gravitasi dan distinasinya.
Kefasihan dialog metafisis telah tergiring dan terpasung di sangkar
sampah tanda tanya yang tak bakal terjawab dan teranalisa logika biasa.
Kita berada pada maqam (tingkat pemahaman) dan latar tataran pengetahuan yang berbeda dengan Sang Sufi. Abu Yazid mungkin seperti ketika Will Durant mengartikan makna filsafat dalam buku terkenalnya The Story of Pholosophy. Atau seperti paparan teramat ruwet mengenai theorema dari Heraclitus, Si Failusuf dari Kegelapan
yang menyengat kepala. Yang ingin dikemukakan di sini hanya tentang
pilihan zikir yang telah diambil oleh seseorang yang bernama Abu Yazid.
Setiap
manusia dalam kesehariannya, sadar atau tidak, memang selalu tenggelam
dalam zikir yang panjang. Seperti daun, pepohonan, angin, gunung dan
seluruh alam yang kodratnya senantiasa berzikir memuja keagungan Sang Pencipta. Hanya saja zikir setiap manusia berbeda. Ada
yang tenggelam dalam wujud zikir yang mengawinkan tujuan Akhirat dan
dunia, juga ada yang memilih salah satu di antara keduanya. Abu Yazid
memilih zikir yang semata melisankan tauhid dan mengisyaratkan
keabadian.
Sementara
Zikir dunia, adalah ketika batin terkonfigurasi ke dalam bangun
strategi yang lebih terarah kepada tujuan yang semata bersifat duniawi.
Golongan Penzikir jenis ini, akan selalu
bangun dan tidur dalam bayang pesona pelangi angan-angan dan ambisi.
Bagi dia, harta dan kedudukan adalah wujud kehormatan yang menggetarkan
hati. Sesuatu yang lebih lekat di bibir dan sanubari.
KITA adalah Para Penzikir
yang kadang tidak sadar, setiap harinya sedang menzikirkan apa. Kita
juga mungkin tak sadar, kegelisahan yang didorong ambisi duniawi, selalu
merangsang sistem saraf otonom di dalam tubuh yang selanjutnya menggetarkan kelenjar adrenal dengan dampak kepada penegangan prilaku tersembunyi, yang mudah menafikan batas-batas moral dan dinding etika.
Setiap orang senantiasa berzikir dalam berbagai bentuk dan versinya. Tapi
sebagian terbesar dari kita, cendrung hanya menzikirkan dunia. “Mereka
yang mabuk sehingga tak berbelok, meski meniti jalan yang salah,” kata
Abu Yazid.
Tapi
bagaimana mungkin bisa berpaling jika kita memang tak pernah mau tahu
bahwa ini jalan yang salah? Dalam situasi demikian, nalar dan logika
memang sedang kehilangan gravitasi, durasi dan distinasinya. Kefasihan
dialog metafisis setinggi apapun, akan tetap hilang gaung dan makna.
Kita akan tetap menjadi orang-orang yang terpana. Mungkin seperti saat
mendengar Abu Yazid memekik “Akulah Allah Sang Maha Pencipta” Kita gelap mata dan tidak tahu apa-apa. Kita sedang mabuk sehingga tak berbelok, meski meniti jalan yang salah. ***
Dialog Dengan Musuh
WATAK dan keyakinan, dibangun secara bertahap oleh rangkaian bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan………
Debu bergerak resah di sepanjang jalan kecil dekat St David Street. Koridor lurus dari sebuah kawasan baru di Edinburgh
lebih 200 tahun silam. Serpihan sisa-sisa cahaya sore, merayap murung,
di antara celah rerumputan yang meranggas kering. Udara mencekik gerah.
Tapi tak membuat David Hume yang berada di penghujung kematiannya
kehilangan semangat untuk mendiskusikan tentang Tuhan dan pen-zat-an mental yang tak pernah dipercayainya.
Satu dari tiga filosof empirisis besar di samping Locke dan Berkeley
ini, dengan gigih menyanggah argumentasi pemikir ulung James Bosswell
yang hari itu khusus datang, hanya untuk mencoba menafikan keyakinan
“sesatnya”. Tapi Boswell akhirnya cuma terpana gagu, saat Hume
melontarkan pertanyaan sangat kritis: “Jika jiwa dianggap sebagai zat mental, dari kesan apa gagasan tentang jiwa diperoleh?”.
Hume
sudah bagai karang terjal yang mustahil goyah diterjang gelombang.
Pencarian butir-butir bibit dari serabut akar sumber kekayaan ilmunya
sejak remaja, menjulangkan menara keyakinannya yang menembus batas
lapisan langit subtansi pemikiran spiritual manusia biasa. Hume mabuk
tenggelam di bejana taman surgawi keyakinanya. Di mata awam sebagian
kita, Filsuf Scottish ini, bisa saja dinilai terlalu gemar memperkasakan Sang Musuh di dalam dirinya. Membiarkan kekuatan itu menelikung dan berdamai dengan seluruh kehendaknya.
SETIAP orang
pada dasarnya, memiliki seorang musuh abadi di dalam diri sendiri.
Perwujudan dari nafsu atau kehendak bebas yang menjadi kembaran
sekaligus bayangan yang tak pernah lepas dari hidupnya. Di mata mereka
yang arif, yang gemar berenang di samudera madu kekayaan hikmah
kebajikan dan kebijakan luas dari dalamnya lautan pemikiran, Sang Musuh selalu tampak jelas dalam setiap dia ingin memilah dan memilih sebuah jalan yang memisahkan antara kebajikan dan keburukan. Sang Musuh yang
kaya dengan bujukan dan godaan, sering tampil dengan kilap meyakinkan,
ketimbang hati nurani, entitas spiritual yang cendrung muncul lusuh dan
bersuara rendah, sehingga kerap lebih gampang terketepikan.
David
Hume mungkin Machiavelli, atau Marx dalam versi subordinasi persoalan
yang berbeda, tetapi membangun teori-teori filsafat dari keyakinan yang
sama, yang lahir oleh pemikiran-pemikiran yang jenial, tetapi menutup
pintu terhadap sesuatu yang sudah tak tersangkalkan yang bernama kebenaran final,
sehingga kaya dengan kontroversi. Ibnu Khaldun, yang kejeniusan
pemikirannya disebut Arnold Toynbee berada di atas Plato, Aristoteles,
Augustine dan sederet nama filosof terkemuka lainnya, seperti juga
al-Kindi, Ibnu Taimiyah dan al-Ghazali, secara tegas berpendapat, bahwa
filsafat khususnya metafisika, adalah mustahil jika digunakan unruk
memahami sebuah kebenaran final. Tuhan tak terjangkau oleh ilmu
itu, setinggi apapun capaiannya. Meski, seperti Hume, yang menara
keyakinannya telah menembus batas lapisan langit subtansi pemikiran
spiritual manusia biasa. “Yang mustahil bisa kita rubah lagi,” kata
David Boswell dengan kecewa.
SETIAP manusia memang perlu mengenal Sang Musuh
di dalam diri masing-masing. Peka terhadap karakteristik dan
kecendrungan kehendaknya. Rajin mengajaknya berdialog tentang semua
persoalan metafisis dan dunia. Dialog itu adalah rangkaian dari
bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan yang kemudian akan
melahirkan watak serta keyakinannya.
Kita
gampang bertemu seribu orang pintar, tetapi demikian susahnya untuk
mencari sepuluh orang baik yang bijak. Karena kepintaran hanya sebatas
ilmu, sedang kebaikan atau kebijaksanaan merupakan watak. Sesuatu yang
tidak wujud dalam sehari atau setahun. Tapi lewat usaha keras, dalam
sebuah proses panjang yang bertahap dari kegemaran berdialog dengan Sang Musuh untuk memahami dan mampu mengendalikan kehendaknya.
Membiarkan Sang Musuh di dalam diri semakin perkasa, akan mengaburkan jalan kepada kebenaran final.
Banyak mereka yang pandai. Bahkan jenius yang malah mungkin tanpa
sadar, terseret kepada kebutaan abadi yang tak terobati terhadap determinasi realitas di luar tembok tebal keyakinan yang telah dibangunnya. Seperti Hume, Marx, mungkin juga Sartre.
WATAK dan keyakinan, memang dibangun secara bertahap oleh rangkaian bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan. Masalah
kita semua tinggal, apakah jembatan itu akan membawa kita kepada cahaya
yang sarat dengan taburan hikmah kebajikan, atau justru malah menghela
kita ke padang sepi yang terasing jauh di perut kegelapan.****
Si Penggali Makam
MAKAM itu
telah sepi. Kesedihan menyayat dari sebuah luka kehilangan yang dalam,
telah terbawa pergi, bersama iringan orang-orang yang kembali pulang.
Awan tebal di langit, berkumpul dalam sebuah konfigurasi muram yang
semakin kelabu dan menghitam.
Si Penggali Makam yang baru itu, terpaku di depan tanah merah di ujung kakinya. “Jika aku pergi, Si Penghuni Kubur akan sendirian di bawah sana. Seperti kudengar lengking tangis ketakutannya kepada kegelapan abadi karena dosa-dosa yang telah dibuatnya di dunia,” gumam Si Anak Muda dengan bibir gemetar. Gemuruh guntur di Cakrawala menggetarkan tanah yang dipijaknya. Sekaligus juga jantung dan seluruh persendiannya.
Kegamangan
kehidupan yang tak berkesudahan, adalah jalan buruk kepada kematian.
Tak semua orang menyadari, kehidupannya kini sedang bergulir ke mana,
dan akan berproses akhir bagaimana. Itu yang membuatnya pangling atau
bahkan tak perduli terhadap hal-hal terbaik yang seharusnya menjadi
pilihan utama kehidupan dia di dunia.
Sementara
orang Catalan di Sepanyol, menyebut kehidupan sebagai pesta pendek
untuk sebuah kematian yang panjang. Ini sebuah pemahaman spiritual
mengenai tanggungjawab eksistensi manusia di alam fana. Ajakan untuk
mereguk kesenangan yang tetap dikendalikan oleh kesadaran terhadap
tanggungjawab setelah kematian.
Manusi cendrung lebih menyadari kecepatan perjalanan waktu, namun tidak dalam perspektif discours
(penalaran) terhadap keping-keping kemuliaan yang terselip, di
celah-celah pergerakan waktu itu sendiri. Sehingga tak aneh, jika banyak
orang yang mampu menjadi lebih kaya dan berkuasa, tetapi tidak
sekaligus juga menjadi lebih arif, bijak dan mulia.
Friedrich Nietzhe membuat teori dyonisian spirit –lawan dari apollonian spirit—tentang
hal ini. Mengenai dorongan irasional dalam diri manusia untuk lebih
memuliakan kesenangan hidup dan kekuasaan. Orang-orang biasanya memang
akan terhela ke dalam pola pemikiran ini, karena rabun terhadap
dialektika hukum kebenaran sejati. Bahwa dunia sebatas terminal tempat berhenti, untuk sebuah tujuan yang abadi.
Teori filsafat creatio ex nihili (tercipta dari yang tak ada) Aurelius Augustinus dan konsep dalil ikhtira (alam itu diciptakan) dari Ibnu Rusydi (Averros), bisa secara cerdas dan dalam membedah makna dari tesa argumentasi ini.
Orang-orang
akan memahami tentang hukum Tuhan sekaligus eksistensi-Nya, melalui
proses rasionalitas.Tidak hanya sebatas dari menelan ajaran-ajaran
tentang dotrin kepercayaan yang bersifat dogmatis baku. Seperti prinsip iman harus mendahului akal.
Merupakan semacam hukum
tak tertulis, bahwa kebanyakan manusia lebih menjadikan kehidupan
sebagai sumber referensi untuk menghadapi kematian, tidak sebaliknya.
Padahal menjalani kehidupan dengan berpikir sebagai orang yang pernah
mati, akan membuat manusia jauh lebih mampu memiliki kendali yang kuat
untuk tak gampang lemah, berdepan dengan berbagai godaan yang
menyesatkan.
SEMUA
keconcangan dan kegalauan dalam kehidupan manusia, diawali oleh krisis
spiritual. Ini sintesa Al Ghazali yang melahirkan pendapat dari
pentingnya pensucian jiwa (takziyatun nafs), melalui bedah cemerlang tentang jalan kepada kehidupan sufistik dalam kitab tebal Ihya Ulumuddin.
Kekosongan
spiritual adalah bencana bagi kehidupan. Kita percaya terhadap
keberadaan kehidupan lain setelah kematian. Tetapi kita sepertinya sulit
untuk dibuat percaya, bahwa kita bisa terseret ke sana
tanpa terduga. Karena itu demikian banyaknya manusia yang meninggal
secara nestapa. Tanpa bekal untuk sebuah perjalanan abadi yang demikian
sulit dan panjangnya.
Itu semua menjadi bagian dari kepedihan dan ketakutan Si Penggali Makam yang berdiri tegak lurus dengan langit, di depan tanah merah di ujung mata kakinya.
“Jika aku pergi, Si Penghuni Makam akan sendirian di bawah sana. Seperti kudengar lengking pekik tangis ketakutannya kepada kegelapan abadi akibat dosa-dosa yang telah dibuatnya di dunia”
Gemuruh guntur di Cakrawala menggetarkan tanah yang dipijaknya. Sekaligus juga jantung dan seluruh persendiannya। Sebentar lagi, hujan akan turun dengan lebatnya.***
Mengukur Nurani
TATKALA lintas
lengkung pelangi petang di latar lagit biru, jatuh membayang di wajah
air bening pada sebuah telaga di hutan sepi. Tatkala pohon-pohon Cemara
yang tegak tinggi di sisinya, burung-burung Bangau yang melintas lewat
pulang ke sarang, menjadi bagian dari landskap alam yang memukau itu, Sang Murid masih tak melihat semuanya sebagai wujud keindahan sejati yang sedang dicarinya.
“Karena keindahan sejati hanya bisa disaksikan lewat mata hati dan nuranimu,” bisik Sang Guru yang memahami kegalauannya.
Manusia
sering hanya menggunakan standar rasionalitas dan nalar empiristiknya
yang tak berbasik kepada mata batin, dalam mencerna dan memahami banyak
hal yang berharga di dunia ini. Itu yang membuat analisis dan formulasi
hasilnya, juga cendrung sebatas serba materi. Proses yang secara
perlahan, akan menumpulkan kepekaan batin dan nurani di dalam diri.
Sebab semuanya memang selalu berhenti sebatas sempit di kulit, tak
pernah merasuk jauh dalam ke intisari.
Betapa
sering kita hanya tersentuh menyaksikan pedih derita orang lain, namun
jarang secara nyata untuk membantunya. Kita lebih sigap untuk
mengeluarkan sapu tangan menghapus air mata, ketimbang memilih membuka
dompet untuk membagi isinya. Betapa sering kita dengar wejangan arif,
hotbah berharga yang hanya berhenti sebatas di telinga, tetapi tak
sampai menyentuh kalbu sehingga tergugah untuk mengikutinya. Betapa
sering ajakan bertakwa kepda Tuhan menerpa gendang telinga, menyerusup
jauh di liku labirin pendengar kita, namun semuanya hanya menjadi
kalimat-kalimat basi yang tak punya makna apa-apa.
“Itulah
standar ukuran kepekaan nurani dan bobot nilai kemanusiaan yang
bersemayam di diri kita. Sebatas itulah kualitas substansi eksistensi
diri kita yang sesungguhnya,” kata Sang Guru. “Manusia yang
bernurani terpuji, adalah mereka yang antara lain, kebahagiaannya
terletak dari ukuran kemampuannya dalam membahagiakan orang lain”.
Ukuran-ukuran
kemanusiaan juga bisa disimak kepada besaran dari komitmen dan sikap
nyata seseorang, terhadap setiap peristiwa kemanusiaan di bumi Tuhan
ini. Standarnya tak cukup berhenti hanya setakat kepada hubungan
vertikal antara dia dengan Sang Penciptanya, juga kepada sesamanya.
Sejauh mana dia memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan
orang lain. Seberapa kuat komitmennya untuk menyenangkan orang lain,
bukan untuk mengusik apalagi menyusahkannya.
Konfusianisme menguraikan hubungan antar manusia ke dalam pemahaman ‘Jen’ yang terpilah kepada ‘Shu’ dan ‘Chung’. ‘Shu’
mengingatkan agar Anda tidak melakukan sesuatu kepada orang lain yang
tidak Anda sukai jika itu dilakukan terhadap diri Anda sendiri. Sedang ‘Chung’
adalah kesenangan untuk melakukan sesuatu kepada orang lain yang Anda
sukai, jika itu juga dilakukan oleh orang lain kepada diri Anda.
Ini semua ajaran tentang kepekaan naluri kemanusiaan sejati. Sesuatu yang disebut pemikir dan failsuf Iqbal sebagai Isyiq
atau cinta, nafas yang harusnya terus berdetak di nadi setiap pemikiran
manusia, sebagai bentuk aktualisasi ekesistensi kodrati Insan dalam
menyikapi sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Aristoteles menyiratkannya kedalam rumusan ‘distributif justice’ (keadilan distribusi). Sedang Emile Durkhiem melihatnya sebagai sesuatu yang harus dibangun ke dalam wujud ‘conscience collective’ (kesadaran bersama).
Seseorang,
perlu sering bertanya, apakah nurani kemanusiaan di dalam dirinya telah
dan terus semakin mengeras dan membeku. Mengapa batinnya selalu mudah
dirayu keburukan, tetapi bebal terhadap ajakan ke jalan kebaikan?
Mengapa kendali dirinya dalam menolak kebusukan demikian lemahnya,
sementara untuk menerabas ke jalan salah selalu demikian kuatnya?
Mengapa dia cendrung lebih suka memikirkan hanya kebahagiaan sendiri,
ketimbang kebahagiaan bersama? Mengapa merasa diri sendiri telah
demikian baiknya, padahal begitu culasnya?
“Karena
mereka tak melihat semua persoalan melalui mata batin dan mata hati,”
kata Sang Guru. “Seperti keindahan alam yang telah kau saksikan. Itu
hanya sebagian kecil dari lapis keindahannya yang sejati. Kau hanya
mampu mengagumi sebatas apa yang terlihat di kemasan, bukan dari
keseluruhan isi. Sebab tanpa nurani yang peka, kehidupan ini seperti
juga pemandangan itu, hanya akan tampak dalam satu sisi. Sisi materi
dari hukum untung-rugi. Kebahagiaanmu dan ketidakbahagiaanmu akan
ditentukan oleh apakah kau untung atau rugi secara materi. Bukan antara
lain dari kemampuanmu menolong dan membahagiakan orang lain selaras
perintah Tuhan yang akan membuat orang itu gembira kemudian berdoa untuk
keselamatan dan kesejahteraanmu. Kau sedang hidup dengan nurani yang
tumpul, dan hati yang mati anakku. Kebahagiaan dan kesenangan hidupmu
bersifat semu. Jika dia hilang, kau akan bisa sangat tergoncang dan
terpuruk jauh sampai ke dasar. Cobalah kembali merenung dan mengukur
nuranimu. Apakah ia memang terus mengeras dan semakin membeku?”.
TATKALA lintas
lengkung pelangi petang di latar lagit biru, jatuh membayang di wajah
air bening pada sebuah telaga di hutan sepi. Tatkala pohon-pohon Cemara
yang tegak tinggi di sisinya, burung-burung Bangau yang melintas lewat
pulang ke sarang, menjadi bagian dari landskap alam yang memukau itu, Sang Murid masih tak melihat semuanya sebagai wujud keindahan sejati yang sedang dicarinya.
“Karena keindahan sejati hanya bisa disaksikan lewat mata hati dan nurani,” petuah Sang Guru***
Manajemen Tuhan
APA yang
dipikirkan seseorang yang rela memberikan semua air miliknya, pada saat
dahaga yang dahsyat justru, sedang mencekik lehernya? Kebodohan apa
yang sedang dirancang seseorang, tatkala menolak jabatan empuk, karena
khawatir akan bergelimang lendir kolusi, korupsi dan berbagai
penyimpangan? Sekedar romantisme tentang heroisme, iman atau pengagungan
tulus terhadap sikap luhur dari idealisme?
Mungkin.
Tetapi, tak banyak mereka yang berani meniti kehidupan karena landasan
kepada keyakinan tentang kebenaran hukum Tuhan. Manusia cendrung lebih
percaya kepada kalkulasi-kalkulasi normatif dan teoritis. Kepada
realitas manajemen nalar akalnya sendiri. Seperti terjadi di dunia
birokrasi masa Orde Baru, maupun sekarang ini.
Anda
sulit bisa menjadi pejabat berposisi baik, jika tak piawai memainkan
lobi dan menyenangkan atasan. Anda susah ingin melesat tinggi meski
cakap bekerja, jika tak rajin mendekat dan merunduk serta tak punya
potensi untuk menciptakan berbagai peluang buat memberi upeti.
Tetapi
percayalah. Tetap saja ada pejabat yang berani menepis semua
“persyaratan bandit” itu, ternyata masih bisa berkarier dengan baik.
Tetap bisa terus menapak ke atas, meski berusaha diganjal dan digunting
oleh mereka yang sirik. Mengapa? Karena dia tak sekedar percaya kepada
manajemen dan teori manusia, terlebih lagi, sangat percaya dan yakin
kepada kebenaran manajemen Tuhan.
Itulah
yang terjadi dengan Ayub al-Skhtiyani. Dia berikan semua persediaan
airnya yang tinggal sedikit, kepada sebuah keluarga muda yang sedang
kehausan sama seperti dirinya, akibat tersesat di gurun sahara. Meski
logika manusianya membisikan, dia sedang berjalan menuju kepada
kematiannya. Karena saat itu lehernya dicekik dahaga yang sangat
menyiksa.
Dia
terjatuh di pasir yang panas dalam penderitaan menuju ke jalan maut.
Tetapi hatinya tetap ihlas. Keluarga muda itu lebih layak hidup,
ketimbang dirinya yang semakin renta. Tak ada hukum akal manusia yang
mampu menjangkau, bagaimana mungkin di tengah terik sengatan matahari
saat itu, mendadak kemudian hujan turun dengan lebat.
Akal manusia tak mampu memahaminya. Tetapi hukum Tuhan dari ‘Al Malakut’
(alam Kerajaan Langit) kuasa mewujudkannya. Dalam syair yang ditulisnya
kemudian, al-Sakhtiyani menulis kisah itu dengan indah. “…tetesan
air bening yang jatuh di pipiku, meresap jauh ke relung kalbu. Ia
mencairkan segala kerak keraguan yang masih tersisa, terhadap sucinya
kebenaran hukum Tuhan…”
SETIAP agama dan pemikiran filsafat yang mengajarkan kepada antropocentrisme, selalu meletakan kebajikan sebagai sentralitas kewajiban eksistensial manusia sebagai zoon politicon, atau mahluk sosial (Plato).
Cofusianisme
–mengutip sosiolog Cina Dr Lei Te Oei--- menekankan tujuan ideal ajaran
Konfusius juga kepada moralitas dan keberanian berjuang untuk
kebajikan. Padahal ketika pergaulan manusia sangat didistorsi oleh
semangat kebendaan, bagaimana mungkin kita bisa melawan arus untuk
mendustai kenyataan? Namun kepercayaan kepada manajemen Tuhan yang
dilandasi oleh keimanan atau semangat tauhid yang kuat, secara tegas
menjawab ketakutan itu.
Pada
saat Anda berani mempertahankan karyawan tanpa rasionalisasi, ketika
perusahaan sendiri sedang dilanda krisis dan serba kekurangan, ketika
Anda berani menyumbang Si Lemah justru di saat uang sudah sangat menipis
di tangan, dan pada saat Anda berani melawan arus atas nama kebenaran
sejati meski dengan konsekwensi harus berada di titik yang rawan, maka
teori dan menajemen manusia jelas bukan jalan kepada keselamatan. Tetapi
manajemen Tuhan membuka pilihan peluang kepada hasil tak terduga yang
mencengangkan.
Persoalannya,
apakah keimanan atau kekuatan tauhid setiap orang berada di tataran
yang cukup untuk berani melawan hukum nalar teoritis manusia? Apakah
kepercayaan untuk melimpahkan segalanya kepada Sang Maha Pengurus Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu, memang dilandasi oleh keyakinan dan keihlasan yang tanpa batas dan imbangan?
“…tak ada pesona kebeningan yang demikian mengagumkanku, kecuali sucinya kebenaran hukum Tuhan,” tulis al-Sakhtiyani.
Secara jernih, Sang Sufi telah berbicara tentang pesona kebenaran Manajemen Tuhan yang mentakjubkan***
Aktor
ANTOINE Henri
Jomini menatap langit petang dengan matanya yang letih. Sebentar lagi
matahari akan tenggelam di batas kaki langit. Lalu ketika senja
beringsut pergi, maka padang lapang yang membentang luas di depan, bakal lenyap ditelan kegelapan.
Proses alam itu, tiba-tiba menyentakan nalar borjuis
muda Prancis berbakat cemerlang dalam ilmu perang ini. Jomini seperti
menyadari, masa depan yang sebenarnya luas membentang di hadapan, bakal
hilang tanpa makna, andai dia tetap pasrah dengan keadaannya saat ini.
Napoleon
telah memperlakukannya dengan sangat tidak adil. Dia merasa, harusnya
memperoleh pangkat dan kehormatan yang jauh lebih tinggi, dari sekedar
yang diterimanya sekarang. “Kaisar yang bodoh itu harus mengakui telah
melakukan kesalahan besar, karena memperlakukanku seperti ini,” gumanya
kesal, ketika pulang dari Perang Spanyol.
Otak Henri Jomini cemerlang. Tetapi mengapa Napoleon merasa cukup hanya memberinya pangkat Generale de Brigade,
tanpa posisi dan kehormatan strategis lainnya? “Karena dia aktor
kehidupan yang sangat pintar dan berbakat dalam menyiasati setiap
keadaan. Kita tak akan pernah menjadi baik oleh orang-orang yang piawai
bersandiwara,” cetus Sang Kaisar kepada salah seorang jenderalnya.
Usai pertempuran di Mainz
tahun 1806, Jomini menghilang dari pasukan Prancis. Namanya kemudian
tercatat dalam sejarah Perang Eropa, sebagai salah seorang penyusun
strategi pertempuran modern yang terkemuka. Seperti Clausewirz,
Friedriech List, Alexander Hamilton, Schliefen atau Molitke. Cuma
Antoine Henri Jomini bukan lagi warga negara Prancis, tetapi Rusia.
Negeri lawan tempatnya mencari suaka.
AL QUR’AN memang
menyebut dunia tak lebih dari panggung sandiwara. Namun adalah keliru
jika manusia kemudian benar-benar merubah diri menjadi salah seorang
aktornya. Karena hanya insan bermental tercela, yang mampu bersandiwara
di panggung pergaulan kehidupannya. Kemunafikan seperti barang busuk di
balik peti rapuh terkunci yang selalu saja gampang terbuka. Karena
bukankah manusia bisa bersembunyi di balik mulutnya, tetapi selalu tidak
mampu berlindung di balik prilakunya?
Namun
sangat banyak mereka yang bahkan pandai, kaya dan punya posisi
terhormat, merasa tak masalah untuk menjadi aktor di panggung
kehidupannya. Mengutip salah satu dari tujuh dasar jalan ke tasawuf yang
diajarkan Abu Thalib Al Makki, sufi yang hidup di Baghdad Irak sekitar
1010 tahun silam, orang-orang itu termasuk golongan mereka yang
membutakan diri terhadap sisi buruk batinnya. Mereka yang hanya terpaku
kepada hasil akhir dari sebuah kemenangan kehidupan lahir, bukan
bagaimana sekaligus juga menciptakan gemerlap sebuah kemenangan batin.
Mereka yang buta, bahwa permata tak pernah mendustakan kilaunya.
Mereka
seperti tak sadar, bahwa manusia akan selalu terpilah dan tertempatkan
oleh orang lain, pada posisi dan derajat yang setara dengan moralitas
hidupnya. Hanya orang-orang bodoh yang mau secara tulus menghormati
mereka yang piawai menyikapi kehidupan setara dengan arti sebuah
tayangan sandiwara.
Aktor-aktor
kehidupan ada di dunia pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, di dunia
kepemudaan, olah raga, seni bahkan agama. Mereka yang tak berkedip
menggadaikan dirinya untuk sebuah jalan mudah mendaki ke atas. Kelompok
yang tak punya sedikit rasa malu, untuk segera berbalik tadah dari
seorang kawan menjadi lawan. Para
hipokrisi yang gemar menyanjung di depan, mencibir ke belakang. Mereka
yang tak segan menjilat ke atas, namun juga secara gampang meludah ke
bawah. Orang-orang yang menyimpan taring berdarah di balik senyum
menawan. Para bajingan berwajah ulama.
Mereka yang tak segan untuk malah menginjak kepala orang-orang yang
sebenarnya sedang menjerit meminta pertolongan.
“Jomini
perwira yang brilian. Tetapi saya tak suka manusia yang membangun citra
diri dan wibawa lewat sandiwara,” kata Napoleon.
KECEMERLANGAN
kehidupan tak teraih oleh kepintaran yang cuma tegak lugu di pedati
kejujuran dalam menyiasati keadaan, gumam Jomini tatkala pulang dari medan Perang Spanyol.
Benar.
Manusia memang punya banyak pilihan dalam mengeluti kehidupan. Tetapi
tetaplah keliru jika menilai dunia sebatas panggung sandiwara. Karena
itu identik dengan membangun pentas untuk sebuah tontonan. Di mana kita
sendiri dengan penuh semangat, tanpa sadar tampil pongah sebagai
badutnya. Sementara orang-orang –dengan jijik, diam-diam--- menyimak dan
mencibir di pinggiran.***
Iluminasi Aceh
GUNCANGAN gempa
dan gemuruh suara gelombang yang menderu dari kejauhan, menyadarkan Mak
Intan kepada wujud datangnya bencana yang sangat dahsyat. Sekaligus
sebuah kematian yang menggetarkan. Wanita renta 80 tahun ini segera
sadar. Ajal hanya setapak di depan mata. Dia lafalkan Surah Yasin
dari kitab suci, dengan suara meratap dan bibir gemetar. Pasrah
sekaligus ketakutan. Gelombang yang sudah merenggutnya ke laut, secara
ajaib kemudian mengembalikannya ke darat. Meletakan tubuh lapuk ringkih
itu dengan selamat di dahan sebatang pohon. Tuhan selalu bertindak
dengan misterius. Ungkapan klasik ini, mungkin tak sepenuhnya benar.
Karena Tuhan juga berbuat atas dasar petunjuk dan alasan-Nya. Hanya
kemauan dan kemampuan manusia untuk memahami semua itu, yang membuat
tindakan-Nya dipersepsikan sarat misteri. Savoir por prevoir kata filsuf Prancis Auguste Comte. Manusia harus memiliki kearifan fenomenalistik.
Mampu memahami gejala-gejala dan hubungan di antara gejala-gejala itu,
agar tidak bingung dan gagap terhadap apa yang akan terjadi. Termasuk
tindakan Tuhan. Meski ini tidak berarti, Tuhan dengan demikian dianggap
memiliki kebolehjadian masa depan yang hipotetik seperti diyakini filsuf Luis de Molina, dengan teori scientia media (pengetahuan perantara)-nya.
Manusia kita yakinkan, sejatinya mutlak tidak akan pernah bisa
mendahului keinginan dan pengetahuan Tuhan.Mak Intan adalah segelintir
dari ribuan warga desanya di desa Pulau Batu Aceh Utara yang selamat dari amukan badai Tsunami.
Tuhan hari itu tidak memilih ribuan anak muda yang memiliki masa depan
lebih panjang untuk tetap bertahan hidup, tetapi justru seorang nenek 80
tahun yang secara logika lebih dekat dengan kematian. Adil dan
misteriuskah ini? Tidak. Seperti juga ketika Tuhan memberi umur panjang
dan rangkaian kemenangan kehidupan kepada para bajingan, tetapi tidak
kepada orang-orang yang baik hati. Ini sebuah iluminasi. Pencerahan.
Penerangan hati dari pola manajemen Tuhan untuk membuat para hamba-Nya
menjadari keluasan dimensitas subtansi kehendak-Nya. Karena itu, kasus
Aceh hanya akan tetap menjadi sebuah garis datar, jika cuma mampu
menimbulkan rasa iba dan solidaritas, tanpa menukik kepada proses
pencerahan batin dan penguatan iman bagi mereka yang
mengapresiasinya.Seorang sahabat saya yang sehat dan segar-bugar, suatu
hari berpesan kepada pamannya yang sedang sakit keras dan dia nilai
berada di ujung maut, untuk bersabar menunggu, sementara dia akan
menghubungi saudara sepupunya di luar kota. Sebuah mobil kemudian
menabrak sepeda motornya dan pamannya tetap hidup sehat sampai sekarang,
sementara dia telah tiada sejak 19 tahun silam. “Salah satu fakta
tentang arogansi manusia, adalah ketika mereka membuat program hidup
yang hanya bersandar kepada nalar dunianya, tanpa disertai nalar
Akhiratnya,” kata salah satu dari tujuh filsuf Muslim yang membuka pintu
gerbang filsafat modern, al-Farabi. Orang-orang semacam itu, menurut
sufi kelahiran kota Farab Turkestan ini, adalah mereka yang rawan dengan guncangan kehidupan dan dunia.Alam atau dunia ini, memang bukan Prime Datum (Datum pertama) yang terjadi dengan sendirinya tanpa tangan Sang Pencipta
seperti diteorikan Aristoteles. Karena sesuatu, dalam ukuran semesta
atau bahkan hanya sekecil elektron yang membentuk atom, diabstraksikan
ke wujud pemikiran paradigmatik bagaimanapun, secara dialektis tak akan
pernah lahir dan ada, tanpa yang mencipta. Ini dasar dari keyakinan
terhadap eksistensi Tuhan yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri. “Sesuatu yang mutlak ada, wajib al-wujud,” kata
sufi Ibn Sina.Masalahnya bagi kebanyakan manusia selaku Hamba, adalah
ketidakjujuran terhadap kodratnya. Mereka percaya kepada Tuhan. Memahami
kehendak-Nya. Bahkan belajar tentang janji kenikmatan dan ancaman
hukuman-Nya seperti dalam konsep Mu’tazilah menyangkut al wa’du wal wai’du. Manusia percaya, bahwa Sang Penciptanya
bisa melakukan apapun kepada dirinya secara tak tertebak. Namun ada
yang mencengangkan. Mereka bukan hanya kemudian menyepelekan fakta itu,
secara tak berkedip juga malah menggunakan nikmat yang telah diberikan
Tuhannya, untuk senjata balik melawan, menghianati dan melecehkan Sang Penciptanya.Kasus
Aceh adalah sebuah iluminasi nalar untuk menapak lebih jauh dimensitas
kekayaan rahasia substansi kehendak-Nya. Ketika Nenek renta Mak Intan
yang bermata kabur itu secara mentakjubkan lolos dari maut, sementara
ribuan orang-orang muda yang jauh lebih kuat dan sehat di sekitarnya tak
mampu bertahan, manusia untuk kesekiankalinya kembali diingatkan, bahwa
kematian seperti bayangan tubuh diri sendiri yang sedemikian dekat dan
tak pernah mau beranjak pergi. Sesuatu yang tak tertebak, karena ia
menafikan segala faktor bilangan usia, kekuatan dan kesehatan, ruang dan
waktu, serta berbagai kalkulasi logika awam manusia biasa. Sehingga
diperlukan kesiapan amal ibadah yang cukup, untuk membuat hati menjadi
lebih tentram buat bisa menerima realitasnya.Kasus Aceh, pada esensinya,
hanya akan tetap menjadi sebuah garis datar, jika cuma sekedar berhenti
di tararan sentimentalitas, rasa iba dan solidaritas masal, tanpa
menukik kepada proses pencerahan batin dan penguatan iman bagi setiap
mereka yang mengapresiasinya. Kita tak sekedar cukup hanya dengan
membuka dompet seraya meneteskan air mata***
Jalan Bijak
TEMUKAN setiap jawaban dari semua pertanyaan yang kau ajukan ke padang ilmu. Andai kecewa di sana, berpalinglah ke medan hikmah. Tetapi saat masih juga gagal, larilah ke ruang imanmu. Dan ketika upayamu tak juga mempan, dirimu mungkin lebih patut bersimpuh di kaki setan!
Ada
begitu banyak jalan untuk menuju kepada kebijakan dan kebajikan
kehidupan, di mata Ahmad Sahal Atha Al Adami. Kecuali di kaki Iblis.
Guru besar para sufi yang wafat tahun 921 di Baghdad ini, dengan
ungkapan di atas, telah menawarkan jawaban yang bagus, terhadap
pertanyaan di lingkar masalah ini. Sebab dia bukan cuma menghelanya ke
dimensi akal dan rasionalitas, tetapi juga kepada paradigma teologis.
Sufi lain sebelum era Al Adami, Al Harist al-Muhasibi (856) melengkapi palung
dalam pemikiran ke arah kebijakan kehidupan ini, lewat sebuah pendapat
bahwa ‘manusia yang baik, adalah mereka yang tidak terpengaruh
akhiratnya oleh dunianya. Dan tidak pula meninggalkan dunianya karena
akhiratnya’.
Hidup yang bijak akhirnya memang bermakna kepada keseimbangan. Harmonisasi. Mengutip buku Dunia Spiritual Kaum Sufi
tulisan Ian Richard Netton (Sufi Ritual: Parallel The Universe),
esensinya adalah bagaimana kita melakukan harmonisasi antara dunia mikro
dan makro.
Sesuatu
yang hanya mampu dicapai lewat penguasaan ilmu yang berhikmah.Ilmu yang
berhikmah, merupakan kunci berbagai rahasia kehidupan. Hanya dengan
kekayaan ilmu semacam itu juga, seseorang akan lebih mampu untuk
beragama sekaligus ber-Tuhan secara benar. Ilmu yang akan menjadi sumber
air untuk dahaga hingga ke fase terdalam substratum spiritual. Yang
memungkinkan seseorang –untuk sebuah misal mengutip Reynold A Nicholson
lewat bukunya Mistik Dalam Islam---, mampu misalnya memahami beda antara Masjid biasa dengan sebuah Masjid Sejati. Masjid sejati adalah yang bersemayam di mahligai hati. Yang dibangun untuk tempat mengabdi kepada-Nya.
Di
sanalah sebenarnya seorang hamba selalu bersujud dalam makna esensial
di hadapan-Nya. Bukan di Masjid yang terbuat dari batu maupun
kayu.Tetapi manakala ilmu yang didapat masih tak mampu menjawab haus
kegelisahan spiritual seseorang, maka medan
hikmah, merupakan lorong lain sebagai pilihan. Karena Hikmah demikian
kaya dengan samudera makna dalam kalkulasi persilangan integral maupun
differensial. Hanya saja, ia harus diramu oleh nalar yang mampu.
Persoalannya
adalah mengapa pada tahap sudah tiba di tataran pemikiran setinggi ini,
seseorang masih tak menemukan jalan kepada kebijakan dan kebajikan
kehidupan? Pilihan akhirnya hanya penisbahan nalarnya ke persoalan iman.
“Andai upayamu tak juga mempan, dirimu mungkin lebih patut bersimpuh di
haribaan Setan,” kata Ahmad Al Adami.Pemahaman ilmu ke tingkat hikmah,
harusnya membuat seseorang tiba kepada jalan kebajikan dan kebijakan
yang tinggi.
Karena
hanya ilmu yang berhikmah mampu membersihkan batin dari kerak kotor
kemunafikan, keserakahan, rasa sombong, serta pengendalian nafsu yang
akan mendorong kecintaan kepada sikap bijak dan hasrat kepada kebajikan.
Yang akan menyeimbangkan kehidupan untuk dunia dan akhirat. Ilmu yang
berhikmah juga yang menjadi tolok ukur kualitas kemanusiaan seseorang.
Ketika
berkuasa, ketika sedang berada di atas, apakah Anda termasuk golongan
yang tak masalah jika sedikit tersinggung kepada mereka yang lebih di
bawah, dengan cepat menunjukan kekuasaan atau kelebihan Anda sebagai
bentuk sebuah arogansi kelebihan diri?Jika sedang bermasalah dengan
pihak lain, apakah Anda hanya akan berpikir bagaimana bisa menjadi
pemenang sendirian, bukan justru bagaimana berbagi kemenangan dengan
pihak lawan?
Apakah
Anda termasuk orang-orang yang lebih suka menciptakan keberhasilan
untuk orang lain, kemudian menuai keberhasilan dari prestasi itu, atau
justru hanya terdorong untuk meraih keberhasilan sendirian dengan
sekedar memanfaatkan orang lain?Andai punya kesempatan untuk mencuat
secara tunggal dengan konsekwensi mengecilkan pihak lainnya, apakah di
mata Anda itu masalah biasa?
Seberapa
takut hati Anda untuk melakukan hal-hal yang membuat orang lain merasa
sakit, terganggu, dirugikan atau tidak nyaman?Ilmu yang berhikmah akan
secara tajam dan presisi menjawab semua pertanyaan-pertanyaan di atas.
Dan ilmu yang berhikmah akan membersihkan keimanan serta membangun sikap
sangat yakin kepada keadilan dan kebenaran janji-janji Tuhan. Yang akan
membuat manusia menjadi kuat dan tabah berdepan dengan gelombang sakit
serta cobaan.
TERLALU
banyak masalah yang kerap dipertanyakan di samudera kehidupan ini. Tapi
–saran Al Adami--- temukanlah jawaban dari setiap pertanyaan itu ke padang ilmu. Andai kecewa di sana, berpalinglah ke medan
hikmah. Tetapi saat masih juga gagal, larilah ke ruang imanmu. Dan
ketika upayamu tak juga mempan, dirimu mungkin lebih patut bersimpuh di
kaki Setan. Karena Anda telah kehilangan Tuhan. Anda lebih layak
mengabdi kepada Iblis maupun Setan. Mahluk yang tak pernah mau
menunjukan jalan kepada kebajikan dan kebijakan kehidupan, kecuali
kesesatan.***
Amarah Wakil Rakyat
BEGITU
banyak orang dengan predikat pandai di sekitar kita. Tetapi kerap
terkesan sempit, bahkan cupat sekaligus juga sombong tatkala menyikapi
sejumlah persoalan. Sekitar 170 tahun silam, Arthur Schopemhauer
mengemukakan salah satu penyebabnya. “Karena mereka menggunakan batas
pandang bidangnya sendiri, sebagai batas dunia”.
Filsuf Jerman yang di tahun 1841 menerbitkan buku terkenal Landasan Moralitas (Basic of Morality) ini, kembali menekankan makna penting dari pola berpikir yang serba sisi, komprehensif lateral
sebagai kunci kecerdasan, sekaligus kearifan seseorang. Manusia pandai,
bukanlah seorang badut yang gemar ke panggung dengan kaca mata kuda.
Karena kebodohan lahir dari dorongan egoisme untuk selalu mencerna semua
persoalan secara miskin sisi. Malah hanya dari satu sisi.
17 Maret silam, media massa diramaikan oleh berita amuk emosi sejumlah wakil rakyat di Gedung DPR-RI saat membahas masalah kenaikan BBM. Ada beberapa kubu yang sudah saling bersitegang hingga nyaris ke batas lampu merah. Wilayah prilaku para preman.Kita mencoba berkepala dingin dengan memahami kasus memalukan itu dari hukum group mind (jiwa massa) sintesa psikolog terkenal Prancis Gustave Le Bon.
Di dalam psikologi, wujud prilaku itu juga disebut sebagai indentifikasi kelompok (Group Identification). Bagaimana mudahnya emosi individu-individu mencair dan menyatu ke dalam gejolak emosi massa
yang menerabas batas-batas etika atau kepatutan. Tetapi penyikapan ini,
dianggap bukan pilihan yang arief, ketika disadari bahwa yang terlibat
di dalam keributan adalah para Wakil Rakyat yang terhormat di sebuah
Sidang Paripurna yang juga terhormat, serta disiarkan langsung di depan
hidung rakyat.
Ada
predikat sekaligus konsekwensi tentang tututan kualitas yang lebih
terhadap pribadi masing-masing mereka. Dengan demikian, semua apologi
mereka ditolak. Kericuhan yang hampir menjelma menjadi tawuran masal
itu, tetaplah harus dikecam dan disalahkan.
“Pengekangan
diri, adalah takaran sedang dalam hal-hal yang baik, dan mutlak
berpantang terhadap hal-hal yang buruk,” kata penulis Amerika Frances E
Willard. Pengekangan diri, kemampuan mengendalikan emosi, kata
orang-orang tua dahulu, merupakan cermin tentang takaran kecerdasan dan
keimanan seseorang.
Bahkan
ukuran keimanan, rasa malu dan integritas diri juga dipadankan dengan
kemampuan seseorang dalam mengendalikan amarah. Itu yang membuat
sementara sufi menyebut semakin sulit seseorang dibuat marah, semakin
dekat dirinya dengan Allah.
Ledakan
kemarahan kerap dimulai oleh sebuah keputusan gegabah kemudian biasanya
diakhiri dengan sebuah penyesalan. Dan dimana kendali emosi terputus,
di sana
kebodohan dimulai. Saya adalah sebuah contoh yang buruk dalam masalah
pengekangan emosi. Refleksi dari susahnya untuk menjadi tidak bodoh.
Entah berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk memahami akar
persoalan ini. Tetapi agaknya jauh dari berhasil.Dengan pahit, saya
terpaksa hanya memaksakan pengambilan jalan pintas lewat penegakan
prinsip klasik bahwa “Apakah ketika sedang berada di jalanan atau di
saat kesal sendirian, maupun hanyut di dalam pertengkaran, jika anda
melihat warna merah, berhenti!”.
Amarah
memang persoalan manusiawi. Pelepasannya juga sering dianggap sebagai
konpensasi terhadap beban berat yang sedang menyesakan hati. Tetapi kita
hidup di tengah peradaban dan masyarakat, di mana orang-orang merasa
berhak untuk mudah menjadi marah, namun menuntut orang lain tidak
bersikap demikian.
Namun
bagaimanapun, siaran langsung tentang keributan para Wakil Rakyat tempo
hari, telah mengajarkan kepada setiap kita, kepada setiap kelompok
orang, untuk selalu antisipatif dan bertindak lebih arif dalam menyikapi
berbagai persoalan. Khususnya juga dalam berdemokrasi.
Kasus
ini membuat kita harus lebih memahami betapa tinggi nilai dari sebuah
kerendahan hati. Betapa penting toleransi, sikap mema’afkan bahkan
sebelum diminta. Sebab ---mengutip penulis dan filsuf William Arthur
Ward---, pemberian maaf adalah kunci yang membuka pintu kekesalan dan
borgol kebencian. Ia merupakan kekuatan yang memutus rantai kegetiran
dan kungkungan sikap mementingkan diri sendiri. Sementara mereka yang
tidak bisa memaafkan orang lain, sebenarnya telah menghancurkan jembatan
yang harus dilaluinya sendiri.
Dan
di atas dari semua pemikiran serta pilihan-pilihan sikap ini,
landasannya adalah karena sesungguhnya kebaikan, sikap toleran, murah
hati, adalah satu-satunya investasi kehidupan yang tidak pernah gagal.
SETIAP
orang kata Arthur Schopenhaeur, menggunakan batas pandang bidang dan
nalarnya sendiri, sebagai batas dunia. Dari sini, kita mungkin menjadi
lebih faham, mengapa begitu banyak orang di sekitar kita yang merasa
dirinya pandai, kadang terhormat, namun anehnya, dia juga cupat, lekas
marah dan terkesan arogan dalam menyikapi berbagai persoalan.***
Siapa Diri Saya?
MANUSIA kadang
boleh saja kalah dengan sesuatu yang berada di luar dirinya. Tetapi
jangan pernah sekalipun kalah untuk hal sumbang yang mengotori batinnya.
Karena peningkatan kualitas diri, sangat bergantung kepada seberapa
tangguh kekuatan hati. “Peningkatan diri kita ditentukan oleh kemenangan
atas diri sendiri. Harus ada pertarungan keras di antara keduanya, yang
akhirnya menjadikan kita sebagai pemenang”, kata sejarahwan inggris
Edward Gibbon (1737-1794).
Kehidupan
adalah sebuah proses perubahan. Tanpa perubahan, kehidupan identik
dengan kematian. Perubahan dalam konstelasi pengertian ini, merupakan
hal yang substansial, sekaligus juga manusiawi dan universal. Umat
manusia mampu bertahan hidup serta terus maju sejak era paleonitikum, zaman batu hingga di era digital
ini, karena apresiasi dan akseptabelitasnya yang tinggi terhadap
perubahan.Namun ketika kajian ini menukik ke diri sendiri, seberapa jauh
ia terfahami?
Kenalilah dirimu, pesan sebuah prasasti di Kuil Delphi.
Siapa dan bagaimana sebenarnya diri saya?, tanya lain Lewis Carroll,
ahli matematika dan pengarang Inggris yang meninggal 105 tahun silam.
Filsuf Prancis Blaise Pascal (1623-1662) punya pesan senada ketika
mengatakan “setiap orang harus mengenali dirinya sendiri, karena itulah
aturan kehidupan”.
Tetapi,
seberapa banyak sebenarnya orang-orang yang benar-benar ihlas dan mau
secara sungguh-sungguh untuk menyelam ke dalam telaga diri sendiri?
Seberapa banyak orang-orang yang seperti itu yang mampu untuk melihat
serta mengenali apa yang mengendap di lubuk batinnya?Dan ketika muncul
kesadaran terhadap betapa banyak masih kerak, noktah dan karat
kekurangan serta kebusukan mengendap di sana, apakah itu akan dia jadikan momentum untuk dilakukannya proses pembersihan hati menuju kepada sebuah perubahan diri?
Dalam Islam, ia bagian dari jalan menuju tasawwuf yang disebut takziatun nafs. Pensucian
jiwa.Tetapi tuntutannya tentu tak harus sejauh itu. Yang dibutuhkan,
bagaimana terjadi sebuah perubahan motivasi hidup, prilaku dan watak ke
arah yang lebih baik. Manusia memperoleh kualitas tertentu, dengan terus
menerus bertindak dengan cara tertentu. Dengan memperbaiki diri!, kata
Aristoteles (384-322 SM).
Dan
ini pesan filsuf Amerika yang lahir 145 tahun silam, John Dewey bahwa
pribadi bukanlah hal yang sudah jadi, tetapi sesuatu yang mengalami
pembentukan terus-menerus melalui pilihan tindakan. Watak dengan
demikian, merupakan kebiasaan yang diteruskan secara lama.
Di
dalam pergaulan kehidupan, kita kerap menemukan orang-orang yang kita
sukai dan tidak kita sukai, karena watak dan prilakunya. Adalah
kebodohan yang mentakjubkan, jika ada mereka yang secara sadar tetap
saja merasa nyaman, meski telah dikategorikan banyak orang berada di
dalam jemaah yang sering tidak disukai orang lain karena alasan watak dan prilaku kurangbaiknya.
KENALILAH dirimu, pesan sebuah prasasti di Kuil Delphi.
Ungkapan sederhana dan mungkin dituding ‘kampungan’ yang mencoba
mengingatkan orang-orang terhadap entitasnya sebagai manusia beradab
ini, memang tak sejalan dengan sejumlah pemikir. Andre Gide, penulis
Prancis (1869-1951) misalnya, dengan sinis mengatakan, bahwa pengenalan
diri sendiri bukan hanya dalil yang buruk, juga merusak.
“Siapa
saja yang mengamati dirinya sendiri, akan menghentikan perkembangannya.
Seekor Ulat yang berusaha mengenal dirinya, tidak akan menjelma menjadi
Kupu Kupu”.
Toh
saya tetap saja percaya, bahwa karena melecehkan pesan sederhana dan
‘kampungan’ itu, justru telah membuat begitu banyak manusia kehilangan
peluang untuk meraih kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Dia
tetap melangkah dengan apa yang dia pikirkan sebagai hal terbaik tentang
dirinya, tanpa perduli, bahwa ajaran agama, bahwa pergaulan kehidupan
yang sukses dan berkualitas, menuntut standar, norma dan parameternya
sendiri. Kita adalah seonggok tumpukan yang dengan mudah akan bisa
membuat orang lain menjadi risih, gatal dan menjauh.
Berubah. Mengapa potongan kata ini tidak kita akui saja sebagai kunci ajaib
yang akan membuka begitu banyak kemungkinan-kemungkinan terbaik dalam
kehidupan? Sebab perubahan merupakan kata kunci yang mampu merentas
kebekuan dan stagnasi. “Kita harus selalu mengubah, memperbaharui dan
memperbaiki diri, atau kita akan semakin mengeras,” ungkap pengarang dan
filsuf Jerman Johann Wolfgang von Gothe (1749-1832).
YANG
dibutuhkan akhirnya, memang kemauan untuk secara sadar dan jujur
menyelam ke dalam telaga diri sendiri. Mau dan mampu untuk melihat serta
mengenali kerak, noktah maupun karat kekurangan dan kebusukan yang
masih mengendap tersembunyi di dasar dan lubuk batin sendiri.
Kemudian
bagaimana secara keras berusaha untuk melakukan proses pembersihan hati
menuju kepada sebuah perubahan diri. Karena manusia, ---kata filsuf
Amerika William James (1842-1910)— mampu megubah aspek-aspek luar dalam
kehidupannya, dengan mengubah sikap batin di dalam pikirannya.Siapakah
sebenarnya diri saya?, pekik Lewis Carrol. Ah itu akan tetap mejadi
teka-teki besar, jika dia tak pernah mau untuk secara jujur menilai diri
sendiri***
Keihlasan Bertuhan
APA substansi tujuan terdalam yang harus dicapai seseorang agar hidupnya bersih Tuan Guru?, tanya Sang Murid dengan suara nyaris berbisik, suatu hari di depan Tuan Guru-nya.
Yang ditanya cuma diam. Membisu. Tak begerak dari sikap tunduknya yang
khusu. Inderanya seolah tak tersentuh oleh sesuatu yang berada di luar
dirinya.
Sang Murid segera sadar. Dia sedang menanyakan sesuatu yang berat. Diamnya Sang Guru,
isyarat agar dia kembali merenungi apa yang ingin ditanyakan. Fahamkah
nalarnya terhadap makna sesungguhnya dari pertanyaan itu? Ingin
kehidupan yang bersih? Oh apakah ini sebuah pertanyaan yang naif?
Mungkin seperti mempertanyakan konsep kontroversial fana al fana al-Khallaj? Atau sebuah non causa pro causa? Atau silang-taut pemikiran seperti gaya Will Durant tatkala membuka The Story of Philosophy-nya yang masyhur?
Kembali dia ulang pertanyaan itu. Dan kembali Sang Guru membisu. Diam, Bagai sepotong batu di hutan sepi. Tapi Sang Murid
kembali berbisik. Kali ini dengan kalimat yang lebih panjang. “Saya
memahami kehidupan bersih, dalam pengertiannya yang umum dan sederhana.
Sesuatu yang hanya bermain di kulit. Bukan di isi. Apa yang harus saya
lakukan untuk lebih memahami makna dan cara untuk mencapainya Tuan Guru? Karena sekarang saya sadar, hidup terlalu pendek dan sempit untuk saya mengerti”.
Sang Guru
pelan mengangkat wajahnya. Menatap dengan sepasang matanya yang jernih.
Terasa berdegup dan menggetarkan. Kalimat yang diucapkannya kemudian,
menghela Sang Murid, dua puluh tahun setelah itu, ke dunia kaum
Sufi. Dunia yang menurut filsuf Amerika David Thoreau, tidak hanya
menuntut seseorang untuk menyelam jauh ke dasar lautan pemikiran, tetapi
juga bagaimana mampu mencintai dan bersekutu dengan kebijaksanaan serta
hidup berdasarkan petunjuknya. Mereka yang bersih dari nafsu hewani.
Jauh dari sampah duniawi. Namun tak berarti hanyut kepada aphatheia kaum Stoics (Stoaisme), yang mengimunisasi manusia dari kenikmatan dan kesengsaraan.
“Jujurlah
terhadap dirimu, agar kau lebih mampu ikhlas untuk bertuhan”. Terasa
pendek. Namun seperti labirin tanpa ujung yang penuh liku. Perlu waktu
sangat panjang bagi Sang Murid untuk kemudian menyimpulkan betapa
seringnya menusia –mungkin tanpa sadar--- kehilangan kejujuran kepada
dirinya sendiri, sekaligus kehilangan keihlasan untuk bertuhan.
Kehidupan memang menawarkan dua manajemen besar untuk dianuti. Manajemen Tuhan dan Manajemen Manusia
yang selalu cendrung berdamai dengan nafsu. Tuhan telah mengajarkan
keberanian kepada semua manusia untuk mengikuti jalan-Nya. Karena
Dia-lah yang Maha Tahu dan Maha Benar. Tetapi oleh dalih logika,
realitas empiristik universal yang merupakan kata lain dari hukum dunia,
kebanyakan orang lebih kerap memilih berdamai dengan nalar duniawinya.
Merasa lebih yakin dengan kebenaran manajemen manusia atau dunia. Bukan
manajemen Tuhan Sang Maha Pencipta.
“Tuhan
tetap dengan khusuk dan rajin dia sembah, tetapi tanpa keihlasan,
karena tak percaya dengan kebenaran-Nya. Dia tidak jujur dengan
dirinya,” keluh Sang Murid suatu hari. “Untuk apa aku ber-Tuhan,
jika ragu, jika tidak percaya, jika tidak yakin dengan kebenaran
strategi dan manajemen-Nya?,” teriak Abu Hafaz al-Naisburi, di ujung
kesesatannya sambil bersimbah air mata.
Sufi kelahiran Naisyafur Irak sekitar 1.380 tahun silam yang dikenal sebagai Pandai Besi
ini, sebelumnya percaya sekali dengan kebenaran Dukun. Gemar menafikan
janji-janji Tuhan, karena menganggap kejujuran, hanya pakaian
orang-orang tolol. Sampai dirinya terpuruk dan batinnya mampu
membuktikan betapa besarnya kasih sayang Tuhan, bahkan terhadap hamba
yang secara kurang ajar menantang-Nya.
Begitu
banyak mereka yang tahu, bahwa Tuhan tidak suka dengan apa yang dia
kerjakan. Namun ketakutan untuk rugi, gagal atau miskin, membuatnya
terus berselingkuh dengan kemunafikan. Dia lebih percaya dengan
manajemen Setan, ketimbang manajemen Tuhan.
Tasawuf
menurut Abu Hafaz memang tidak menuntut manusia harus membenci dunia.
Yang terbaik, adalah terjadinya sinergitas keseimbangan capaian antara
kebahagiaan lahir dan batin. Dan sosok yang digelari al-Sufi ini, telah
membuktikan, bagaimana dengan manajemen-Nya, Tuhan telah menciptakan
jalan yang indah untuk itu. Jalan bagi kehidupan yang bersih. Tanpa
harus membuat manusia bersikap tidak jujur dengan dirinya sendiri. Tanpa
harus membuat manusia bersikap tidak ihlas dalam bertuhan.
SAYA memahami
kehidupan bersih, dalam pengertiannya yang umum dan sederhana. Sesuatu
yang hanya bermain di kulit. Bukan di isi. Apa yang harus saya lakukan
untuk lebih memahami makna dan cara untuk mencapainya Tuan Guru? Karena sekarang saya sadar, hidup terlalu pendek dan sempit untuk saya mengerti, kata Sang Murid.
Dia
mungkin mewakili kegelisahan tersembunyi dari sebagian kita, dalam
memahami kejujuran terhadap diri sendiri, sebagai bagian dari jalan
menuju keihlasan untuk bertuhan.***
.
Impian
APAPUN
yang mungkin bisa anda lakukan dan impikan, lakukanlah secara berani!
Keberanian mempunyai kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalam
dirinya, kata filsuf Jerman Johann Wolfgang von Gothe.
Impian mungkin sepotong kata yang bodoh.
Tetapi siapa yang menyangkal, berbagai capaian paling mentakjubkan
dalam sejarah peradaban manusia selama ini, justru dimulai dari sana? Mereka yang tak punya impian, bukan hanya telah menghina Kasih Sayang dan Kemahakayaan Tuhan, sekaligus juga telah membunuh kehidupan.
Ungkapan
di atas, memang sudah demikian umum dan klasiknya. Sehingga di depan
sementara orang, tak patut lagi dipersoalkan. Tetapi percayalah.
Merupakan fakta, masih begitu banyaknya di sekitar kita mereka yang
sebenarnya pandai, punya potensi besar untuk maju, memiliki peluang dan
kemungkinan untuk sukses, malah masih berkutat di batas hidup yang serba
marjinal. Miskin dengan sukses dan hanya kaya dengan keluhan. Mengapa?
Karena mereka tak punya sepotong kata bodoh yang bernama impian.
Impian
atau obsesi memang akan tetap menjadi kata-kata kosong, tatkala hanya
digantung di awang-awang. Ia baru menunjukan maknanya, saat diburu
dengan perencanaan, semangat tinggi dan keyakinan, serta kejujuran yang
bertaut kepada keyakinan kepada takdir Tuhan. Karena proses perwujudan
sebuah impian menjadi kenyataan –kendati tidak harus mutlak dalam wujud
seperti yang diinginkan namun tetap bermakna sebuah keberhasilan--- tak
pernah bisa diperhitungkan secara matematis. Ada variabel kemungkinan-kemungkinan lain. Perkembangan ke arah yang tidak diperhitungkan. Ada
misteri kehendak Tuhan yang mewarnai sebuah perjalanan keras mengejar
impian. Karena bukankah biasanya mereka yang ulet, rajin dan jujur,
umumnya akrab dengan keberhasilan?
“Ketika
seseorang maju dengan penuh keyakinan ke arah impiannya, sambil
berusaha menghayati kehidupan mendatang yang dibayangkannya, percaya
dengan takdir baik Tuhan, dia akan bertemu dengan sukses yang tidak
terduga-duga pada jam-jam yang biasa,” kata filsuf Amerika Henry David
Thoreau.
Penulis
dan Filsuf Jerman Johann Wolfgang von Gothe lebih mempertegasnya dengan
kalimat “apapun yang mungkin bisa anda lakukan dan impikan, lakukanlah
secara berani! Keberanian mempunyai kejeniusan, kekuatan dan keajaiban
di dalam dirinya
”Sukses
yang tak terduga-duga dan keajaiban! Ini yang sering dilupakan oleh
mereka yang sering mentertawakan para pengimpi yang bekerja keras dan
jujur untuk mencapai impiannya. Sukses kehidupan, bukanlah sesuatu yang
bisa diperhitungkan secara matematis.
Para
pemimpin di negeri ini, pasti jauh sebelumnya tak pernah terpikir suatu
ketika bisa menjadi orang penting dengan genggaman kewenangan besar di
tangannya. Tapi tak perlu diherankan. Mereka antara lain memang telah
menemukan apa yang disebut Thoreau sebagai : sukses yang tidak terduga-duga pada jam-jam biasa.Ada maha strategi
yang mengatur perjalanan hidup mereka. Yang membuat semuanya menjadi
mungkin dan pasti. Yang menciptakan keberuntungannya mampu mengetepikan
kegagalannya. Yang hasilnya tidak terduga-duga.
Sukses
sesungguhnya lahir dari begitu banyak faktor dan kemungkinan. Tetapi
dalam rumusan sederhana di kolom ini, semua itu biasanya hanya bersumber
dari sebuah keberanian untuk membangun impian dan mengejarnya, serta
keberanian untuk menanggung resiko yang ditimbulkannya. Resiko sendiri,
dalam pengertian positif jelas sebuah kata yang memang harus diakrabi.
Karena kehidupan sendiri sudah sebuah resiko.
“Dalam
masa-masa awal kehidupan manusia, yang merupakan bahaya adalah ketika
anda tidak mengambil resiko,” kata filsuf Denmark Soren Kierkegaard.
Jadi membangun impian, merajut ambisi dengan segala resikonya, adalah
sebuah keharusan.
“Menyingkirlah
dari orang-orang yang mencoba meremehkan ambisi anda,” teriak penulis
dan humoris Amerika Mark Twain. “Sebab orang-orang kerdil selalu mudah
meremehkan orang lain. Karena mereka tak percaya kepada keajaiban sebuah
impian”.
Optimisme
besar akan membuka semua pintu peluang dan kemungkinan, sekaligus juga
keberutungan. Jadi untuk apa kita hanya memilih sebagai penonton,
menjadi kritisi kehidupan orang lain tetapi bukan Sang Pemain? Karena sebaik apapun kritikan kita, Sang Pemain
tetaplah yang lebih beruntung. Jika mereka gagal, setidaknya dalam
lembaran sejarah kehidupannya ada catatan tentang perjuangan dan
pengalaman untuk mencapai impian yang besar. Sementara kita tak punya
apa-apa untuk ditulis.
APAPUN yang
mungkin bisa anda lakukan dan impikan, lakukanlah secara berani!
Keberanian mempunyai kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalam
dirinya, kata Johann Wolfgang von Gothe. Hanya orang-orang yang berbakat
menjadi besar dan sukses, percaya dengan omongan ini.***
Luka Seorang Hamba
SEBUAH luka melintang di lengan Sang Guru. Masih merah dan terlihat menyakitkan. Ya Allah, akibat apa ini?, tanya salah seorang muridnya dengan rasa kaget dan prihatin. Sang Guru sejenak
terdiam. Tak menduga ditanya begitu. Dia tergagap untuk mencari
kata-kata yang tepat untuk menjawab. Ini luka dari kelemahan seorang
hamba, akhirnya dia menjawab begitu. Sikapnya kemudian tak ingin lebih
jauh dipersoalkan.
Luka seorang hamba!
Luka yang boleh jadi hanya dirasakan oleh mereka yang sering merasa
bersalah, malu dan tersudut di Mata Tuhannya. Berapa banyak dalam satu
minggu atau satu bulan kita pergi ke rumah Ibadah? Ke tempat-tempat di
mana hotbah kadang dilontarkan dengan begitu bermakna, begitu indah,
begitu menyentuh dan mengharukan?
Seberapa
sering kemudian selama mendengarkan hal itu, kita merasa terpukul,
terhenyak bahkan terpuruk oleh rasa takut dan bersalah kepada Tuhan?
Tetapi ironisnya, seberapa lama dampak positif dari rasa terpukul,
terhenyak dan terpuruk itu kemudian mampu bertahan? Pekan lalu, saya
sempat menangis karena tersentuh mendengar sebuah hotbah di acara
televisi. Tapi dua hari kemudian, Istri saya mengamuk marah menemukan
saya mabuk-mabukan dengan beberapa teman, keluh seorang sahabat dengan
wajah bodoh dan tidak mengerti.
Keimanan
itu seperti gelombang. Kadang ada lonjakan pada grafik konturnya yang
terus merambat tinggi. Kadang juga bisa menukik turun sangat tajam. Dan
tak semua kita, punya lampu trafik yang peka untuk mendeteksi dan
mengingatkan area margin pada setiap perubahan kontur yang kadang
sangat eksrim tersebut. Dengan agak na’if, untuk membangun lampu trafik semacam itu, Sang Guru telah secara sengaja melukai dirinya.
Parut
luka yang selalu jelas terlihat mata itu, akan mengingatkan dirinya
terhadap setiap perubahan grafik kontur yang akan terjadi. Parut luka
itu adalah lampu merah yang akan menghentikan setiap langkah kakinya ke arah dosa.
Terlalu na’if? Mungkin. Lampu trafik
itu harusnya berada di batin, bukan di fisik. Tetapi setiap orang
memang punya cara dan keyakinan sendiri-sendiri untuk mendekati Tuhan.
Sekitar 720 tahun silam, Ibnu Adham melepas mahkota kerajaan dan seluruh
hartanya, setelah seseorang menerobos masuk di persidangan Istananya.
“Akhirnya aku sampai di Terminal ini,” kata Si Lelaki lega.
Ibnu Adham langsung gusar karena sikap kurang ajar serta sebutan Terminal untuk Istana megahnya itu. Namun Si Lelaki
asing itu punya alasan sendiri. “Sebelum engkau, Istana ini dahulunya
ditempati Ayahmu. Sebelumnya ditempati Kakekmu. Sebelumnya lagi di
tempati Moyangmu dan seterusnya. Tetapi di mana mereka semua sekarang?
Di mana? Pergi untuk selamanya. Kini giliranmu yang singgah untuk
kemudian juga bersiap akan pergi. Bukankah Istana ini bahkan dunia ini,
sesungguhnya tak lebih dari sebuah Terminal? Mengapa engkau sangat
membanggakannya?”
Ibnu
Adham dan para Menterinya terpaku. Lelaki tak dikenal itu –yang
diyakini sebagai Malaikat—kemudian lenyap di balik pintu. Peristiwa itu,
akhirnya membawa Ibnu Adham ke perjalanan hidup seorang sufi yang jauh
dari kekuasaan dan kemegahan. Dalam sejarah para sufi, dia kemudian
dikenal sebagai Ibrahim Ibnu Adham Bin Manshur Ibnu Yazid Ibnu Al Ijli.
Salah seorang sufi besar dari Khurasan Irak.
Luka seorang hamba Ibnu Adham, adalah pada kemewahan dan kemegahan. Setiap bersisian dengan kedua hal itu, dia melihat nyala di trafik light batinnya. Karena itu, dia campakan jubah kemewahannya yang kotor dan menukarnya dengan jubah kepapaan yang megah.Luka seorang hamba, sebagai fakta kodrati tak terhindarkan dari kedho’ifan manusia, memang bisa berarti serba bentuk dan makna.
Esensinya dalam visi argumentasi teologis yang sederhana, adalah bahwa seorang manusia sebagai homo relegius yang memiliki kepekaan transendental harusnya mempunyai pusat sinyal yang selalu mengingatkannya jika ingin melakukan perbuatan salah atau dosa-dosa. Pusat sinyal itu sendiri, sesungguhnya penyederhanaan dari kata iman.
Tetapi apa yang akan diperoleh manusia dari kerja memperindah moralnya?, pekik sinis failusuf humanis sekuler ‘pembunuh tuhan’ (Requiem Aeternam Deo!) Friedrich Wilhelm Nietzsche. Pertanyaan paradoksal ini, pada dasarnya (tanpa melirik konsep Adi Manusia atau ubermensch
Nietzsche) justru sebenarnya menggugat kosensepsi kehidupan yang
mengetepikan urgensi moralitas di strata derajat nilai kehidupan
manusia. Ia malah sebuah penegasan substantif, bahwa eksistensi manusia,
dihargai oleh kualitas moralnya.
Dengan
demikian, keindahan tertinggi kualitas manusia, terletak kepada nilai
moralnya. Bukan kepada takaran materi dan akalnya.Namun juga tidaklah
benar, bahwa luka seorang hamba kemudian mengharuskan manusia untuk menjauhi dunia, seperti pilihan yang diambil Ibnu Adham. Dalam konsep ajaran neo-sufisme,
manusia justru diarahkan untuk berjuang menyeimbangkan kehidupan di
dunia dengan kepentingan akhirat. Dan keseimbangan itu hanya mungkin
dikendalikan oleh moralitas yang baik. Dengan watak yang terpuji.
LUKA
itu terlihat masih melintang merah. Ini luka dari seorang hamba yang
sering kalah bertarung untuk melawan nafsu rendahnya, keluh Sang Guru
dengan perasaan pedih dan malu. Kita semua, mungkin punya luka yang
serupa. Hanya masalahnya, apakah kita sadar dan kemudian sungguh-sungguh
untuk mempersoalkannya?**
Para Saksi
HAMPIR dua
puluh tahun silam. Di suatu malam yang larut. Dingin. Sepi dan kelam.
Di antara kabut embun yang tipis, saya meluncur laju sendirian di atas
sebuah sepeda motor. Seseorang dengan kendaraannya, mendadak melesat
mendahului ke depan. Sangat cepat bagai terbang. Seseorang yang tak saya
kenal. Namun mendadak kecepatannya dikurangi. Membiarkan saya bersisian
dengannya. Dia kemudian berteriak untuk mengatasi suara kendaraan yang
menderu nyaring. “Standarnya, Mas,” ujarnya memperingatkan sambil
menunjuk ke arah standar sepeda motor saya yang ternyata lupa dinaikkan,
sebelum kemudian kembali melesat kencang ke depan. Lenyap di balik
tikungan.
Saya
terkesiap. Astaga! Dengan kecepatan tinggi seperti ini, jika nanti
membelok di tikungan di depan, sulit bagi saya untuk tidak sampai
terpental jatuh, karena standar kendaraan yang masih terpasang.Saya
tidak kenal dengan orang itu. Juga tak sempat untuk melihat wajahnya.
Namun satu hal yang pasti, di balik persoalan yang sedang dihadapinya,
dan itu entah apa, dia masih sempat melakukan hal yang ‘remeh’ namun
demikian berharga bagi orang lain.
Pahamilah,
siapapun yang penting bagi orang lain, sebenarnya adalah orang penting,
kata motivator Amerika Zig Ziglar. Nilai seorang manusia, distandarkan
dari seberapa berharga dirinya untuk kehidupan orang lain.Argumentum ad populum. Sebuah
argumentasi yang besifat universal memang –secara filosofis--, tatkala
kita memvisikan ukuran nilai eksistensialitas manusia, dari makna yang
bisa diperoleh manusia lainnya. Standar ini, secara moralitas adalah baku.
Seseorang
menjadi berharga, karena mampu membuat orang lain juga berharga.
Lantaran itu, orang penting secara esensial biasanya, akan membuat
orang-orang di sekitarnya merasa ikut menjadi penting. Bukan sebaliknya.
Merasa menjadi tidak penting. Atau bahkan merasa tidak menjadi apa-apa.
Tulisan
ini, sebenarnya hanya ingin kembali menggarisbawahi tentang
serpihan-serpihan kecil prilaku keseharian manusia yang sadar atau
tidak, secara batin sebenarnya akan mewarnai wajah dan nilai
kehidupannya. Serpihan-serpihan yang sekaligus juga akan menjadi para Saksi yang jujur tentang dirinya. Tidak hanya di dunia tetapi juga di hadapan Tuhannya.
Sekitar empat ratus tahun silam, Jahanara putri Raja Maghul Shahjahan (pendiri Taj Mahal) yang dinilai orientalis Inggris Carl W Ernst Ph.D (Teaching of Sufism)
sebagai sufi wanita yang cemerlang, menyebut tentang salah satu
kenaifan manusia. “Setiap hari, mereka suka mengotori hidupnya dengan
lumpur yang menjijikan,” kata penulis buku Tarekat Chistiyah yang dimakamkan di Delhi India ini.
Manusia
–kata lain sufi Syeh Siti Jenar—adalah wadag, seonggok daging busuk
yang terus bergerak dengan menjijikan. Kognisi sufistik yang ingin
dikemukakan kedua Wali ini, mungkin keharusan manusia untuk terus
membersihkan jiwanya. Bukan justru mengotorinya. Karena hanya di jiwa
yang lapang dan tenang kejernihan pikiran serta kebahagiaan sejati yang
dilahirkan oleh rasa ihlas sebagai manusia sekaligus hamba Tuhan, lebih
memungkinkan untuk dikecap seseorang.
Tetapi
bagaimana mungkin ada jiwa yang lapang, jika manusia tidak menghargai
makna penting, cinta kasih dan toleransi terhadap sesamanya? Lihatlah di
jalanan. Bagaimana kita tidak gampang meski sebenarnya punya
kesempatan, untuk sedikit mengalah memberikan jalan bagi kendaraan lain
yang sedang berusaha untuk melintas di persimpangan. Bagaimana kita
enggan utuk mau turun membantu mendorong mobil orang lain yang sedang
mogok, sementara pemiliknya yang hanya sendirian, sedang kebingungan dan
memelas memohon bantuan. Bagaimana kita lebih cendrung untuk memilih
mengeluarkan sapu tangan sebagai ungkapan kesedihan terhadap mereka yang
sedang ditimpa kesusahan, ketimbang mengeluarkan dompet sebagai bentuk
bantuan yang lebih dibutuhkan. Bagaimana kita……..
Mereka
yang sering lebih memilih mengalah secara wajar untuk mendahulukan
kepentingan orang lain, gemar berusaha membantu meringankan beban mereka
yang sedang kesusahan, adalah orang-orang yang sumber kesenangan dan
kebahagiaan di hatinya memang terletak dari kemampuannya dalam membuat
orang lain juga senang dan berbahagia. Sesuatu yang hanya mungkin
dimiliki oleh orang baik yang rendah hati. Sementara dari kerendahan
hati lahir sikap manusiawi. Sebuah biji yang akan menumbuhkan cinta,
kasih sayang dan toleransi.
Kita
mungkin memiliki bibit-bibit itu. Persoalannya adalah keengganan untuk
mau terus memupuk dan menumbuhkannya sehingga berpokok, berbunga dan
berbuah. Bagaimana biji itu bisa terus melahirkan para Saksi yang terpuji. Para Saksi!
Pada saat orang lain tersenyum menghargai, karena menyaksikan sikap
mengalah kita, ketika orang-orang mengangguk terharu karena ketulusan
uluran tangan kita, ketika dan ketika…. mereka semua adalah para Saksi kita. Begitu juga ketika yang dilakukan hal-hal yang kurang terpuji. Kekesalan kejengkelan, kekecewaan orang lain, adalah para Saksi kita dalam makna yang lain. Satu minggu untuk tujuh saksi. Setahun untuk 360 Saksi. Saksi mana yang ingin kita hadirkan?
HAMPIR dua
puluh tahun silam. Di suatu malam yang larut, dingin, sepi dan agak
kelam. Saya meluncur laju sendirian di atas sebuah sepeda motor.
Seseorang dengan kendaraannya, mendadak melesat mendahului ke depan.
Seseorang yang tak saya kenal. Seseorang yang telah mengajarkan kepada
saya, tentang sisi lain yang sederhana, dari esensi nilai-nilai dalam
kehidupan yang demikian berharga. Seseorang yang telah menjadikan saya
sebagai salah seorang Saksi-nya**
Mari Menjadi Bijak
SAYA katakan kepada Anda, masa lalu adalah seember abu.
Apakah dengan ungkapan ini, Carl Sandburge –penyair Amerika yang meninggal 1967 silam— menafikan fakta, bahwa pengalaman adalah Guru terbaik? Meski ia menuntut uang sekolah yang mahal?
Saya
pikir mungkin tidak. Sandburge hanya bicara tentang sinisme. Masa lalu
justru barang berharga di mata orang-orang yang bijak. “Saya telah
dimuliakan oleh masa lalu,” kata Plato. Karena kebijaksanaan antara
lain, juga lahir dari kualitas kemampuan seseorang, dalam menyikapi apa
yang telah terjadi dan berlalu. Bagaimana dia menjadikan
pengalaman-pengalaman lahirnya menjadi pengalaman batin. Bagaimana dia
merubah sebuah sinar biasa, menjadi berkilat dan bercahaya.
Ketika
Anda nyaris ditabrak sebuah mobil, pada sementara orang itu mungkin
sebuah pengalaman biasa. Seperti kejutan yang membuatnya sejenak
terkesiap, kemudian terlupakan. Mungkin seperti gelegar guntur
di siang bolong. Detik-detik setelah itu, kembali berjalan rutin
seperti biasa. Hampir tanpa kesan apa-apa.Tetapi bagaimana ketika mobil
itu benar-benar telah menabrak Anda? Mungkin ada jarum infus di tangan
dan pipa oksigen di hidung. Operasi di sejumlah tubuh yang cacat atau
terluka parah serta logam di bagian tulang-tulang yang patah. Keluarga
menanti dengan tegang dan gundah, sementara masa depan berubah menjadi
mendung yang menghitam.
Lalu
akan lebih buruk lagi, jika saat mata terbuka, kita sudah berada di
bawah Makam yang sempit, pengap dan gelap gulita. Bersiap menunggu
peradilan-Nya, (dan yang lebih mengerikan), tanpa bekal selaras dengan
perintah-Nya. Apa yang bisa dikatakan, andai semua ini yang terjadi?
Sejauh mana, di dalam rutinitas keseharian ini, misteri kehendak Tuhan
mampu kita sadari?
Sebuah
peristiwa, memang tak bakal menghasilkan apa-apa, jika sekedar diterima
sebagai pengalaman biasa. Ia baru akan menjadi berkilat dan bercahaya,
manakala dicerna dan dijadikan sebagai pengalaman batin. Sekaligus ini
juga membedakan pola berpikir seseorang biasa, dengan mereka yang bijak,
dalam menyikapi sebuah peristiwa.
Kemampuan
untuk menjadikan berbagai kejadian di dalam kehidupan sebagai
pengalaman batin, memang akan menciptakan sebuah proses pengkayaan jiwa.
Seperti dikatakan Plato, atau juga faham filsafat kaum Stokisme, maupun para sufi yang asketik,
kebijaksanaan kadang juga dilahirkan oleh remah-remah seolah tak
bernilai yang terselip di sampah waktu. Seperti ketika kita nyaris
ditabrak mobil. Seperti ketika kita nyaris bangkrut. Seperti ketika kita
menyaksikan bencana, kemalangan, kesialan atau sukses dan keberuntungan
yang menimpa kita, atau orang lain di sekitar kita. Atau seseorang lain
yang tak kita kenal di ujung benua sana.
Saya
katakan kepada Anda, masa lalu adalah seember abu, kata Carl Sandburge.
Itu kalau setiap perjalanan waktu yang praktis juga pertambahan usia
setiap manusia tidak dijadikan sebagai potensi terhadap pertambahan
nilai bagi batin dan jiwanya. Dan pengkayaan jiwa yang melahirkan
perbaikan serta pemurnian watak, karakter, prilaku maupun keimanan yang
merupakan jalan menuju kebijaksanaan, sesungguhnya telah menjadi
kewajiban humanistik yang bersifat sangat universal. Kemudian hanya di
ladang watak dan keimanan yang baiklah, pohon kebijaksaan memungkinkan
tumbuh dan berkembang.
“Jiwa
yang bijak, tidak akan hidup di batin yang kotor,” komentar sufistik
al-Farabi.Kolom sederhana ini, tak pernah bosan untuk selalu
menggarisbawahi makna penting dari penegakan moralitas. Karena moral
yang baik, merupakan kunci esensial ke arah sukses kehidupan yang
berbahagia. Mengapa? “Lebih banyak orang gagal di dalam kehidupan karena
faktor cacat karakternya, ketimbang oleh alasan-alasan lainnya,” kata
pakar pembangunan pribadi Dr D James Kennedy.Thomas Jefferson punya
pandangan yang linear dengan argumentasi itu.
Menurut
dia, tidak ada apapun yang bisa mencegah orang dengan sikap mental yang
benar untuk mencapai tujuannya, seperti juga tidak ada apapun di bumi
ini yang bisa menolong orang dengan sikap mental yang salah.Sekitar 2012
tahun silam, filsuf Lucius Annaeus Seneca mengatakan bahwa
kebijaksanaan sebenarnya tidak tampak dengan sendirinya dalam aturan
tingkah laku atau selera kehidupan. Kebijaksanaan selalu ditunjukan oleh
nafas kebenaran yang mengkombinasikan pikiran, perkataan dan tindakan
dalam satu warna.
SEPERTI Kerang,
waktu yang berlalu, butir dan serpihan pengalaman hidup pada setiap
kita, juga menyimpan mutiara berharga. Sesuatu yang akan tetap
tersembunyi, andai tak diungkap, digosok dan dicerna menjadi berkilat
serta bercahaya. Hanya bagi mereka yang tak bijak memang, masa lalu tak
lebih berharga dari seember abu.**